Selasa, 24 Agustus 2021

Perang Gudang Batu

Perang Gudang Batu Pertama

Baiklah, sebelum kita ikuti peristiwa bersejarah berikutnya yang melahirkan tokoh utama dalam buku ini. Ada baiknya kita menengok ke belakang sebentar, tentang kejadian sekitar abad ke-16 yang sangat erat kaitannya dengan latar belakang berdirinya Kerajaan Islam Banten.


Pada pertengahan abad ke 16, Banten berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda, dengan pusat pemerintahan di Wahanten Girang, di tepi kali Dalung, yaitu di sekitar Sempu sekarang. Ketika itu penduduk Banten memeluk agama Hindu, yang mengabdi kepada Prabu Pucuk Umun sebagai penguasa tertinggi di daerah itu.


Perlu diketahui, menurut catatan sejarah, Prabu Pucuk Umun termasuk keluarga dekat dari Prabu Siliwangi yang menjadi raja di Pajajaran. Pada masa itu, Banten cukup ramai dikunjungi pedagang asing dari beberapa negara. Sementara pelabuhan Banten, tercatat sebagai pusat perdagangan yang menarik perhatian para saudagar Asia dan Eropa. Hasil bumi yang diperdagangkan waktu itu adalah beras dan lada.


Tatkala Syarif Hidayatullah dan putranya Maulana Hasanuddin menginjakkan kaki pertama kali di Banten. Untuk suatu tugas suci meng Islamkan penduduk. Ketika itu, hanya beberapa orang penduduk saja yang telah memeluk agama Islam. Mereka menetap di sekitar Banten, Namun, berkat penampilan Syarif Hidayatullah serta putranya Maulana Hasanuddin yang begitu menawan hati penduduk.


Maka sebagian rakyat Banten, dengan suka rela beralih agama menjadi pemeluk Islam yang taat serta setia kepada kepemimpinan Syarif Hidayatullah dan putranya. Waktu Kerajaan Sunda berhasil ditaklukkan Syarif Hidayatullah beserta Maulana Hasanuddin, dan lbukota Wahanten Girang dapat direbut. Prabu Pucuk Umun yang tidak mau masuk Islam, melarikan diri ke Gunung Pulosari.


Konon kabarnya, karena malu dan takutnya pada Maulana Hasanuddin yang terus mengejarnya. Prabu Pucuk Umun kemudian menghilang dari Dunia ramai dan masuk menjadi penghuni Alam gaib. Perbuatan nekad itu terpaksa dilakukan Prabu Pucuk Umun, untuk menghindarkan diri dari kejaran Maulana Hasanuddin yang terus mencarinya.


Syarif Hidayatullah memindahkan pusat pemerintahan, dari Wahanten Girang ke Banten lama. Dan pada tahun 1526, Maulana Hasanuddin membangun kota Surosowan di Banten lama. Yang kemudian menjadi pusat kegiatan dan pemerintahan Kerajaan Islam Banten. Sejak itu, penduduk Banten menjadi berkembang pesat.


Perdagangan semakin maju, rakyat hidup dengan aman dan sejahtera. Sementara itu, sebagian besar daerah Banten telah dapat diIslamkan. Tahun 1552 Syarif Hidayatullah mengundurkan diri dari pemerintahan, karena merasa telah tiba waktunya Maulana Hasanuddin menggantikannya. Ulama besar yang dicintai rakyat itu, kelak namanya lebih terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, sebagai salah seorang wali dari wali sanga.


Syarif Hidayatullah kemudian menobatkan putranya Maulana Hasanuddin menjadi Sultan Banten yang pertama. Dalam masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin itulah, dibangun Keraton Surosowan yang megah. Orang asing yang datang berkunjung ke Banten, menyebutnya sebagai "Kota Intan". Suatu pujian; yang menggambarkan betapa indah dan cantiknya Keraton Surosowan pada saat itu.


Perlu diketahui, keberhasilan Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin dalam mengIslamkan daerah Banten, serta menaklukkan Kerajaan Sunda, yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Islam di Banten. Adalah berkat jasa yang amat besar dari Panglima Perang Serenggane, yang dengan setia mendampingi Syarif Hidayatullah. Panglima Perang Serenggane, dilukiskan sebagai seorang kesatria lambang keberanian.


Patriot sejati yang tak pernah gentar menghadapi musuh, tak seorang pun lawan yang sanggup menandingi kehebatannya di medan laga. Dalam segala tindak tanduknya, kejantanannya sangat mengesankan sekali. Kesaktiannya luar biasa, berbagai macam ilmu keprajuritan dikuasainya dengan baik. Begitu pemberaninya Panglima Serenggane, sehingga gigi taringnya terlihat sampai menonjol ke luar.


Sebagai tanda, keteguhan hatinya tak tergoyahkan, laksana Gunung Karang yang berdiri tegak dengan kokohnya. Kesetiaan serta kejujurannya tak perlu diragukan lagi. Itulah sebabnya, ketika Syarif Hidayatullah berniat meninggalkan Banten dengan tujuan pergi ke Cirebon. Sang Ulama menyempatkan diri berbicara empat mata dengan Panglima Serenggane.


Ia berpesan kepada Panglima Serenggane dengan wantiwanti sekali, agar membantu dan mendampingi putranya Sultan Maulana Hasanuddin dalam mengembangkan agama Islam serta menjaga keutuhan daerah sekitarnya dari rongrongan dan ancaman musuh.


"Serenggane, duduklah. Ada soal penting yang akan kita bicarakan hari ini." kata sang ulama, memulai pembicaraan dengan suaranya yang lembut penuh wibawa. "Ada apakah gerangan kiyai." Tanya Panglima Serenggane, sikapnya sangat rnenghormat sekali.


"Begini Serenggane, sebentar lagi saya akan pergi jauh meninggalkan Banten. Ada tugas penting yang harus segera diselesaikan di Cirebon. Untuk itulah panglima saya panggil kemari". "Kemana pun kiyai hendak pergi, saya selalu siap mendampingi kiyai." jawabnya singkat. Panglima Serenggane duduk bersila sambil menundukkan kepala dengan khidmatnya, ia tampak begitu segan terhadap Syarif Hidayatullah.


Orang yang selama ini paling dihormatinya, yang telah ia anggap sebagai guru dan pemimpinnya. Terima kasih atas kesetiaanmu Serenggane, tapi bukan itu maksudnya. Dengarkanlah baikbaik, ketika pertama kali kita menginjakkan kaki di Banten. Tujuan kita yang utama adalah mengIslamkan seluruh tanah Banten.


Hati ini rasanya belum lega dan puas, kalau citacita yang luhur itu belum terwujud. Oleh karena itu, tugas yang maha suci ini saya percayakan ke atas pundak panglima. Semoga Bumi Banten yang kita cintai ini akan menjadi perlambang kebesaran Islam. Masalah kedua yang tidak kalah pentingnya, adalah menjaga keutuhan negeri ini.


Kita dengan susah payah membangunnya, untuk itu, jagalah persatuan dan kesatuan di antara sesama kita. Sebab, hanya itulah yang dapat mempertahankan negeri ini dari setiap ancaman. Baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar. Karena itu kita jangan sampai lengah, terutama terhadap bangsa asing yang ingin menjajah kita. Sejengkal tanah pun harus kita pertahankan dengan darah dan nyawa." Ucap sang ulama lebih lanjut.


"Ingat!, membela tahah air wajib hukumnya, camkan itu baikbaik." Dengan panjang lebar Syarif Hidayatullah memberikan wejangan kepada Panglima Serenggane. "Oleh karena itu, sebelum saya pergi. Ada satu permintaanku, dampingilah putraku Sultan Maulana Hasanuddin dalam suka dan duka." ujarnya.


Sepasang matanya menyorot tajam ke arah Panglima Serenggane dengan amat berpengaruh sekali. Seakan hendak menembus ke dalam lubuk hatinya. Wajah Panglima Serenggane tampak semakin tertunduk, semua ucapan dan petuah Syarif Hidayatullah tadi, amat berkesan sekali. Untuk beberapa saat lamanya, ia terdiam di tempatnya tak kuasa berkata sepatah kata pun.


Panglima Serenggane yang terkenal gagah perkasa itu, luluh hatinya begitu mendengar nasihat Syarif Hidayatullah. Ketika itu, hatinya sedih juga harus berpisah dengan orang yang amat dikaguminya. Tapi kemudian Panglima Serenggane sadar, apa yang dikatakan Syarif Hidayatullah memang benar. Bahwa tenaganya masih diperlukan untuk mempersatukan seluruh Banten.


"Sebenarnya hati saya berat berpisah dengan kiyai, tapi kalau memang sudah menjadi keputusan kiyai. Saya siap menerimanya. Selamat jalan kiyai, semoga selamat sampai ke tempat tujuan." Katanya dengan suara agak sedih. "Bagus, begitulah seharusnya sikap seorang kesatria sejati". Ucap Syarif Hidayatullah memuji.


Sejak pertemuannya yang terakhir dengan ulama terkemuka itu, hati Panglima Serenggane semakin mantap. la kemudian menikah dan menetap di Banten sampai akhir hayatnya. Sebelum menutup mata, ada satu hal yang membuat lega hati Panglima Serenggane. Yaitu, janjinya pada Syarif Hidayatullah telah dilaksanakan dengan baik.


Seluruh sisa hidupnya telah dihabiskan untuk berbakti pada Kerajaan Banten. Ketika itu, Panglima Serenggane mendampingi Sultan Maulana Hasanudd,in, yang memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Banten sampai dengan tahun 1570. Waktu itu, Kerajaan Banten mencapai jaman keemasan yang gilang gemilang.


Jejak kepahlawanan Panglima Serenggane, diwarisi oleh anak keturunannya. Mereka dengan setia mengabdi pada Kerajaan Banten, hingga pada saat terakhir kehancuran Banten tahun 1813. Tampaknya, darah Panglima Serenggane mengalir pada anak cucunya. Sifatsifat kejantanannya sebagai seorang pejuang pembela negara, terlihat jelas pada keluarga besar Panglima Serenggane.


Terbukti kemudian, dari Panglima Serenggane inilah lahir keturunannya, yang menjadi patriotpatriot sejati pembela rakyat yang amat disegani lawan. Dan ada satu ciri khas yang bisa dikenali pada anak keturunannya. Yaitu, pada setiap keturunan Panglima Serenggane, gigi taringnya pasti menonjol keluar. Sebagai tanda, keluarga ini mempunyai keberanian yang luar biasa.


Hanya sayang sekali, silsilah keturunan Panglima Serenggane tidak diketahui secara lengkap dan jelas. Tapi yang pasti, salah seorang keturunannya kemudian diketahui bernama Ki Rakse. Dan sebagai pewaris keluarga besar Panglima Serenggane, Ki Rakse juga mengabdikan diri di Kerajaan Banten. Dari Ki Rakse inilah, lahir seorang putranya yang diberi nama Qoshdu.


Pada masa kecilnya, Qoshdu mendapat didikan khusus dari ayahnya. la dibekali ilmu agama dan ilmu keprajuritan selama bertahuntahun hingga menjelang usia remaja. Dan ketika umurnya mulai menginjak dewasa, Qoshdu tumbuh menjadi seorang pemuda yang taat menjalankan perintah agama. Selain itu, ia juga menguasai berbagai macam ilmu bela diri yang diwarisi dari ayahnya.


Penampilannya tenang dan sifatnya agak pendiam tak banyak bicara. Suatu hari, Qoshdu menghadap ayahnya di ruangan tamu. Kelihatannya ada sesuatu yang akan dibicarakan Ki Rakse terhadap putranya. Lelaki setengah baya itu lama terdiam di tempat duduknya, seperti ada yang mengganggu pikirannya. Sesaat kemudian, terdengar suaranya yang agak parau menggema di seluruh ruangan.


"Anakku, usiamu sekarang sudah cukup dewasa. Sudah waktunya untuk mencari pengalaman hidup dan mengamalkan semua ilmu yang telah engkau peroleh selama ini. Sebab, percuma belajar bertahuntahun menekuni diri. Kalau akhirnya, tidak kau amalkan untuk kepentingan rakyat dan negara. Ingat anakku, ilmu adalah barang titipan yang harus kita berikan kepada siapa saja yang memerlukannya.


Suatu dosa besar anakku, membiarkan ilmu menjadi benda mati yang “tak berharga." Demikian nasihat yang diberikan Ki Rakse kepada putranya yang amat dikasihinya itu. Qoshdu mendengarkan dengan penuh perhatian, diingatnya baikbaik semua ucapan ayahnya yang amat berharga itu.


"Sebagai salah seorang keturunan dari Panglima Serenggane, telah tiba saatnya engkau mengabdikan diri di Kerajaan Banten. ltulah pesan leluhurmu dulu anakku, kita sebagai keturunannya yang tahu membalas budi, sudah seharusnya melaksanakannya dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Apalagi kabarnya keadaan negara sekarang sedang tidak aman, pergilah anakku.


Jaga dirimu baikbaik, doaku selalu menyertaimu." ujar Ki Rakse, memberikan pesan terakhir kepada putranya. Sepatah katapun Qoshdu tak menyangkal nasihat ayahnya, sebagai seorang anak yang patuh pada orang tua. Sudah menjadi kewajibannya memenuhi permintaan ayahnya. Apalagi yang menyangkut nama leluhurnya. Demikian kata hatinya.


Dengan berat hati, Qoshdu memohon diri pada ayahnya. Selanjutnya ia pergi menjadi prajurit di Kerajaan Banten mengikuti jejak orang tuanya. Karena pembawaan dan keberaniannya luar biasa, dalam waktu singkat, Qoshdu dikenal sebagai pemuda yang gagah berani serta tak gentar menghadapi musuh. Setiap tugas yang diembannya, dilaksanakannya dengan baik dan penuh rasa tanggung, jawab.


Ketrampilan serta kecakapannya sebagai prajurit sangat mengagumkan sekali. Oleh karena itu, Qoshdu kemudian mendapat jabatan yang cukup tinggi di Kerajaan Banten. Pada permulaan abad ke 19, situasi negara semakin tidak menguntungkan. Ketika itu, Kerajaan Banten mendapat tekanan terus menerus dari pemerintah kolonial Belanda.


Beberapa kali pasukan penjajah Belanda melakukan penyerbuan untuk menaklukkan Banten; tetapi selalu mengalami kegagalan dan kerugian yang tidak sedikit. Prajurit Banten dengan gagah berani, menghalau dan memukul mundur setiap ancaman yang datangnya dari pihak penjajah Belanda.


Ketika keadaan negara betambah mengkhawatirkan, akibat ancaman dari pihak Belanda yang tiada hentinya berupaya menaklukkan Kerajaan Banten. Qoshdu mendapat tugas mengamankan daerah Banten di bagian Barat. Sebagai seorang prajurit yang trampil, ia diharapkan dapat mengawasi gerakgerik musuh yang datangya dari Merak, Anyar, Cilegon dan Bojonegara.


Untuk memudahkan melaksanakan tugas yang dibebankan ke atas pundaknya. Qoshdu kemudian membangun pasanggrahan di sebelah Utara Serdang, yang akan dijadikan tempat tinggalnya selama bertugas di daerah itu. Letak pasanggrahan itu, dari Serdang sekitar 3 kilo meter ke arah Bojonegara, persis di dekat pohon buni (wuni).


Beberapa tahun kemudian, banyak penduduk yang mendirikan rumah dan menetap di sekitar pasanggrahan. Lalu terbentuklah sebuah kampung, oleh penduduk, kampung itu kemudian disebut dengan nama Kampung Seruni. Nama tersebut mengandung arti, bahwa kampung itu letaknya di bawah pohon buni, atau dalam bahasa Seranghya berarti "dese ning sor wuni".


Hingga sekarang, Kampung Seruni berkembang menjadi suatu perkampungan, yang padat penduduknya. Sementara itu, situasi di Kerajaan Banten semakin tidak menentu. Selain tekanan dari pihak penjajah Belanda semakin hebat. Ternyata, di lingkungan keluarga Kerajaan Banten sendiri, telah lama terjadi pertikaian pertikaian antara sesama kerabat kerajaan, yang saling memperebutkan kedudukan sultan.


Keadaan ini mengakibatkan posisi Kerajaan Banten semakin lemah, yang sangat menguntungkan pihak lawan. Tentu saja kesempatan yang amat berharga itu, dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pihak Belanda untuk melakukan pukulan terakhir. Dengan dipimpin langsung oleh Gubernur Jendral Herman Daendels dari Batavia, maka pada tahun 1813, pasukan Belanda mehghancur-leburkan Kerajaan Banten hingga rata dengan tanah.


Peristiwa yang sangat mengharukan itu, disambut rakyat Banten dengan perasaan duka yang amat dalam. Sejak itu, kebencian rakyat terhadap Belanda semakin menjadijadi. Hal ini bisa dimaklumi, karena bagi rakyat Banten, seorang sultan selain diakui sebagal kepala pemerintahan yang amat dihormati. Sultan juga dianggap sebagai seorang ulama terkemuka tempat rakyat mengadu dan meminta nasihat.


Oleh karena itu, tindakan penjajah Belanda yang menghancurkan Kerajaan Banten. Dianggap suatu penghinaan besar terhadap rakyat; yang mengundang reaksi keras di manamana. "Bedebah, BelandaBelanda itu tidak punya perasaan sedikitpun." Umpat seorang penduduk dengan geramnya. "Namanya saja penjajah, apapun akan dilakukan untuk mencapai maksudnya, yang menghalalkan segala cara." kata temannya menimpali. "Puh, suatu saat nanti, rakyat akan membalas sakit hatinya, penjajah itu akan angkat kaki dari tanah Banten." Ujar temannya yang lain melampiaskan kebenciannya.


"Benar, mereka pasti lari terbiritbirit seperti dikejar setan." Kata temannya yang tadi. Rasa tidak puas penduduk atas kebiadaban Belanda, memang terbukti kemudian. Di beberapa tempat timbul perlawanan perlawanan kecil menentang penjajah Belanda. Tetapi, karena perlawanan itu hanya dilakukan oleh sekelompok penduduk yang berdiri sendirisendiri, serta tidak adanya kontak dengan perlawanan rakyat di daerah lainnya yang bermunculan di seluruh Banten.


Maka pihak penjajah Belanda dengan mudah dapat menumpasnya, tak ubahnya seperti percikanpercikan api di atas sebuah tungku. Kehancuran Kerajaan Banten, diterima Qoshdu dengan hati yang sedih. Bermingguminggu ia mengurung diri di dalam kamar dengan wajah murung. Hatinya begitu terpukul mendengar berita yang mengejutkan itu, laksana suara petir yang menggelegar di siang hari.


Tak pernah terbayangkan sebelumnya, kebesaran Kerajaan Banten yang termasyhur itu, berakhir dengan kehancuran total. Andaikata saja, tidak terjadi perpecahan dan pertikaian di dalam tubuh Kerajaan Banten, musibah itu tidak akan menimpa seburuk itu. Dan Qoshdu merasa yakin, serbuan penjajah Belanda akan dapat dihalau.


Tapi, semuanya telah terjadi dengan begitu cepat, siasia saja menyesali sesuatu yang telah tiada. Dan kalau saja saat itu Qoshdu, menurutkan kata hatinya yang sedang gundah. Mau rasanya ia menghancur lumatkan Belanda-Belanda keparat itu. Tapi Qoshdu kemudian sadar, belum tiba waktunya untuk membalas kepedihan hatinya. Satu saat nanti, penjajah asing itu akan merasakan juga pahitnya.


Betapa nyeri dan pedihnya pembalasan dari rakyat yang merasa terhina dan tertindas. Cepat atau lambat penjajah Belanda akan terusir dari bumi Banten. Bertahuntahun berlalu dengan cepatnya, tampaknya Qoshdu sudah mulai melupakan kedukaan hatinya. Memang tak baik bagi seorang pemuda terlalu lama tenggelam dalam kesedihan, raut mukanya kelihatan sedikit cerah dan tatapan matanya kembali bersinar, pertanda semangatnya mulai bangkit.


Namun ada sedikit perubahan pada diri Qoshdu, perangainya tampak lebih pendiam dari biasanya. Kalau tak perlu benar, jarang sekali ia berbicara dengan penduduk. Dan sekitar tahun 1817, Qoshdu menikah dengan seorang gadis bernama Fadmah. Kedua suami istri itu, tampaknya cukup bahagia serta hidup dengan penuh kerukunan.


Dua tahun kemudian, pasangan muda itu dikaruniai seorang anak lakilaki yang diberinya nama Abbas. Kehadiran si kecil Abbas di tengah lingkungan keluarga mereka, membuat suasana rumah tangga Qoshdu menjadi semakin cerah. Pasangan suamiistri itu kelihatannya berbahagia sekali. Terutama Qoshdu, ada saja yang membuatnya tertawa terpingkalpingkal karena ulah Abbas yang lucu.


Qoshdu amat menyayangi putranya, dengan penuh kesabaran diajarnya Abbas ilmu agama sampai bertahuntahun hingga khatam. Dan ketika usia putranya mulai menginjak 10 tahun, ia mendidik Abbas dengan berbagai macam ilmu bela diri. Apa yang dimiliki Qoshdu, diturunkan semua kepada putranya. la berharap, kelak putranya akan menjadi seorang pemuda tangguh, yang dapat menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara.


Kita tinggalkan dulu keluarga Qoshdu untuk sementara, selanjutnya kita ikuti peristiwa yang terjadi di bagian lain di daerah Banten. Seperti telah dituturkan pada kisah sebelumnya, sejak penjajah Belanda menancapkan kukunya di tanah Banten pada tahun 1813. Timbul pergolakan di manamana, sebagai pelampiasan kemarahan rakyat yang tidak sudi tanah airnya dijajah bangsa asing.


Rakyat Banten, sejak dulu memang memiliki rasa patriotisme yang tinggi. Oleh karena itu, untuk menumpas semua kekacauan yang timbul, pihak penjajah Belanda tak segansegan menggunakan tangan besi. Penduduk yang dicurigai melakukan kekacauan ditangkap dan diganjar dengan hukuman berat, atau dihukum kerja paksa selama beberapa tahun. Sedangkan terhadap pemimpin pemimpin kerusuhan, pihak pemerintah penjajah Belanda menghukumnya lebih berat lagi.


Mereka diasingkan dan dibuang ke Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan. Upaya ini ditempuh pemerintah kolonial Belanda, dengan tujuan agar pergolakan yang telah berhasil dipadamkan tidak bangkit kembali. Maka, untuk menghindarkan diri dari penindasan dan kejaran pasukan Belanda. Banyak pelaku kerusuhan yang melarikan diri dan bersembunyi ke Lampung.


Bahkan tak sedikit penduduk Banten yang kemudian menetap di Lampung sampai berumah tangga dan beranak cucu. Dari tempat persembunyian mereka di Lampung, penduduk Banten tidak pernah tinggal diam dan selalu berupaya menentang penjajah Belanda. Pada saatsaat yang tepat, mereka menyusup ke Banten bergabung dengan penduduk Banten lainnya untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.


Setelah itu, mereka kembali ke Lampung untuk bersembunyi dan menghindar dari kejaran pasukan Belanda. Penindasan yang dilakukan penjajah Belanda terhadap rakyat Banten, semakin menjadijadi. Penduduk diwajibkan membayar pajak tanah serta pajak kekayaan kepada pemerintah penjajah. Beban rakyat menjadi bertambah berat dengan dikeluarkannya peraturan tentang pajak kepala.


Artinya, setiap penduduk Banten yang telah dewasa, diharuskan membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda. Bagi rakyat yang tak sanggup membayar pajak kepala, akan dihukum kerja paksa sebagai gantinya. Selain itu, kemudian bermunculan tuan tanahtuan tanah Belanda yang menguasai tanah rakyat. Penduduk yang bertempat tinggal dan bertani di tanah milik tuan tanah, diharuskah membayar pajak tanah kepada pemilik tanah alias tuan tanah.


Sedangkan rakyat yang melalaikan kewajibannya membayar pajak tanah, akan merasakan betapa kejamnya tuan tanah memperlakukan rakyat yang cuma dianggap sebagai budaknya. Seperti nasib yang dialami seorang petani bernama Amir penduduk dari Kampung Bayuku. Ketika itu, Amir beserta keluarganya menetap dan bekerja menggarap sebidang tanah milik seorang Belanda bernama Kamphuys.


Dari hasil jerih payahnya setiap hari memeras keringat dan bermandikan sinar matahari yang membakar tubuh, Amir sudah cukup puas bisa menghidupi keluarganya anak beranak. Bahkan, dari hasil menyisihkan sebagian uang belanja dapur setiap bulan, Amir masih dapat menabung sedikit demi sedikit.


Dengan uang simpanannya itulah, Amir mampu membeli seekor kerbau dan membayar pajak pada Tuan Kamphuys. Namun nasib buruk kemudian menimpa keluarga Amir. Betapa tidak, akhirakhir ini panen padi dan palawija yang menjadi tumpuan keluarga petani itu, hasilnya tidak seperti panen tahun sebelumnya. Dari tahun ke tahun pendapatan mereka sebagai petani penggarap terus merosot, jauh dari yang mereka harapkan.


Tapi Amir tak kuasa berbuat apaapa, selain hanya mengelus dada dengan perasaan penuh kecewa. Jangankan untuk membayar pajak, buat menyambung hidup sekeluarga saja tidak cukup. Terpaksa Amir menebalkan muka ngutang kanankiri pada tetangga, agar anak istrinya tidak sampai kelaparan. Itulah sebabnya, sudah beberapa tahun ini mereka menunggak pajak pada Tuan Kamphuys.


Tapi dasar tuan tanah, Tuan Kamphuys mana mau tahu dengan kesulitan hidup yang dihadapi Amir sekeluarga. Malah dengan amat kasarnya, Amir didamprat habishabisan. la dituding sebagai pembangkang yang hanya mencari alasan saja untuk tidak membayar pajak. "Sudah berapa tahun jij tidak bayar itu pajak, hah!". Tegur Tuan Kamphuys sambil berkacak pinggang dengan sombongnya. "Dua tahun Tuan."Jawab Amir sambil menundukkan mukanya.


"Ya, betul. Dan jij tidak pernah mau bayar itu pajak ya!, apa sudah berani melawan Belanda?" Kata Tuan Kamphuys dengan garangnya. "Tidak sekalikali Tuan, saya hanya minta tempo, sekarang saya belum bisa bayar pajak." Ujar Amir agak mengiba. "Praat niet to veel, saya sudah terlalu baik sama jij, itu pajak harus di bayar secepatnya dan tidak ada alasan, mengerti!" Bentak Tuan Kamphuys.


"Tapi saya tidak punya uang Tuan, sungguh Tuan, dengan apa mesti saya bayar. Tolonglah Tuan, beri saya waktu beberapa bulan untuk melunasinya." Pinta Amir minta dikasihani. "Verdom zeg!, sekarang jij pintar bicara dan banyak bohong. Tapi jij masih punya itu kerbau, kenapa tidak jij jual saja, biar hutanghutang itu lunas semua." Kata Tuan Kamphuys, dengan mata melotot. Seperti hendak menelan Amir bulatbulat.


"Memang benar Tuan, tapi kerbau itu satusatunya milik kami yang bisa dibanggakan. Kalau kerbau itu dijual, dengan apa kami membajak sawah, kasihanilah kami sekeluarga Tuan." Ucap Amir dengan nada memohon. "Hou je smoel!, itu saya tidak tahu, pokoknya tidak bisa. Jij harus bayar itu pajak semua, kalau tidak, nanti saya panggil orang buat usir jij dari ini tanah."


Kata Tuan Kamphuys mengeluarkan ancamannya, tuan tanah itu mulai menunjukkan giginya sebagai seorang penguasa, yang setiap saat bisa berbuat apa saja sekehendak hatinya terhadap rakyat. Setelah itu Tuan Kamphuys berlalu meninggalkan Amir yang terduduk dengan lesu.


Kendatipun Tuan Kamphuys telah pergi dan menghilang dari hadapan Amir. Tapi katakata kasar yapg dilontarkan Tuan tanah itu, masih jelas terngiang di telinga Amir. Makin lama terasa semakin membakar sekujur tubuhnya yang gemetar menahan amarah yang tak tertahankan. Hatinya mendidih seperti terbakar api yang panas sekali, sebagai manusia, Amir merasakan harga dirinya telah diinjakinjak dan dicampakkan begitu saja oleh Tuan tanah kejam itu.


Perasaan benci dan dendam mulai merasuki jiwanya yang sedang terguncang hebat. "Sudahlah Pak, jangan terlalu dipikirkan." Tegur istrinya, hatinya khawatir bercampur iba melihat wajah suaminya yang tampak bermuram durja. "Apa?, kau pikir akan semudah itu melupakannya, tidak istriku. Belanda keparat itu sudah keterlaluan menghina kita, sakit hati ini rasanya sukar terobati."


"Sabarlah suamiku, biarlah orang menghina kita, apalah artinya petani miskin dan orang kecil seperti kita ini, apa daya kita melawan Tuan tanah yang berkuasa itu." Keluh istrinya agak terisak, ia tak sampai hati menyaksikan kedukaan suaminya. "Benar katamu istriku, kita memang orang kecil yang selalu menjadi permainan hidup. Tapi kita punya harga diri, kita tidak bisa membiarkan orang lain menista kita seenak perutnya.


Tuan Kamphuys itu, seperti tak memiliki rasa kemanusiaan sedikitpun, hatinya bagaikan terbuat dari batu karang saia. Tidak istriku, apapun yang akan terjadi, kita harus membalas penghinaan ini." Kata Amir dengan penuh kebencian. Sepasang matanya menatap liar ke luar rumah, ke arah menghilangnya bayangan Tuan Kamphuys di balik sebatang pohon yang rindang.


Tekadnya telah bulat untuk membalas dendam pada Tuan Kamphuys, yang saat itu merupakan satusatunya orang yang paling dibenci Amir di atas dunia ini. Begitulah kalau hawa nafsu sudah merasuk ke dalam hatinya. Beberapa bulan kemudian setelah peristiwa itu berlalu, tepatnya pada Minggu ke dua bulan Desember 1845. Terjadi kegemparan di perkebunan Cikandi, pada hari yang penuh dendam itu, Amir beserta puluhan penduduk yang menaruh simpati padanya, menyerbu rumah Tuan tanah Kamphuys.


Dalam penyerbuan tersebut, hanya tiga orang anak Tuan Kamphuys yang berhasil diselamatkan oleh salah seorang pimpinan penyerang. Selebihnya, Tuan Kamphuys, istrinya, serta lima orang anaknya, habis dibasmi Amir dan teman-temannya yang mengamuk seperti kesetanan. Rumah Tuan Kamphuys kemudian dijadikan markas oleh Para penyerbu. Ketika itu, Amir dan kawan-kawannya telah bersepakat untuk melanjutkan perlawanan menentang kezalimanyang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.


Selama ini, mereka telah cukup menderita diperlakukan tidak adil oleh penjajah Belanda yang berbuat semenamena terhadap rakyat Banten. Tetapi, karena perlawanan mereka terpusat pada satu tempat saja. Lagi-lagi upaya penduduk memerangi penjajah Belanda menemui kegagalan, dengan mudah pasukan Belanda memadamkannya dan membuat mereka menjadi kocarkacir.


Sebagian besar perusuh berhasil ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Sementara, sebagian lainnya dapat melarikan diri dari kepungan pasukan Belanda. Peristiwa perlawanan rakyat lainnya, terjadi, di Gudang Batu, Weringin Kurung. Seperti diketahui, penduduk Gudang Batu dari dulu terkenal amat membenci penjajah Belanda. Setiap pergerakan rakyat yang menentang pemerintah kolonial Belanda, penduduk Gudang Batu tak pernah absen membantu setiap perjuangan melawan kezaliman.


Rasa patriotisme mereka memang cukup tinggi. Ada satu lagi kelebihan penduduk Gudang Batu, seluruh rakyat akan bersatu padu bahumembahu dalam menentang ketidak adilan dari manapun datangnya. Itulah sebabnya, daerah ini sering dijadikan tempat persembunyian penduduk, yang melarikan diri dari pengejaran pasukan Belanda.


Oleh karena itu, untuk menghadapi setiap pergolakan yang terjadi di Gudang Batu. Pihak pemerintah kolonial Belanda selalu bersikap hati hati sekali, dalam melakukan tindakan terhadap penduduk yang dicurigai telah berbuat kekacauan. Pasukan Belanda tidak bisa berbuat semaunya terhadap penduduk Gudang Batu. Salah sedikit, dapat berakibat fatal bagi pemerintah kolonial Belanda.


Hal ini sebenarnya bisa dijadikan contoh yang sangat berharga bagi setiap perlawanan rakyat yang menentang penjajah Belanda : Bahwa persatuan dan kesatuan berperan sangat penting dan paling menentukan dalam setiap perjuangan. Seperti kata pepatah, "Bersatu kita teguh dan bercerai pasti runtuh". Katakata mutiara itu, seperti membekas pada setiap dada penduduk Gudang Batu. Maka dari itu, perlawanan penduduk Gudang Batu merupakan suatu kekuatan yang dahsyat, yang tidak mudah dipatahkan oleh penjajah Belanda.


Salah satu perlawanan penduduk Gudang Batu yang sempat membuat kecut pemerintah kolonial Belanda di Serang. Adalah peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1820-an. Pada waktu itu, rakyat Gudang Batu telah meluapkan rasa bencinya kepada penjajah Belanda, dengan melakukan suatu tindakan yang amat berani. Tidak kurang dari 19 orang pegawai staf administrasi distrik, dihabisi jiwanya oleh penduduk Gudang Batu.


Mayat mereka yang dalam keadaan mengerikan, kemudian ditelungkupkan di atas pagar berjejer di sepanjang jalan di tempat kejadian. Setelah itu, penduduk Gudang Batu bersiap-siap menghadapi serbuan balasan dari pasukan Belanda. Mereka telah bertekad bulat akan melawan setiap serangan pasukan Belanda, demi memperjuangkan kebebasan yang selama ini terbelenggu.


Pemerintah kolonial Belanda di Serang, yang mendapat laporan dari bawahannya tentang peristiwa yang menghebohkan itu. Pihak Belanda seperti mendapat tamparan yang sangat memalukan, kejadian itu sudah keterlaluan sekali. Tapi pemerintah kolonial Belanda, kemudian memutuskan untuk tidak mengambil tindakan apapun terhadap penduduk Gudang Batu.


Sebab, menurut pertimbangan pihak Belanda, saat itu kemarahan rakyat Gudang Batu sedang meluap tak terkendalikan lagi. Kalau pasukan Belanda dikirimkan ke tempat kejadian dengan tujuan memadamkan kekacauan. Dikhawatirkan akan jatuh korban lebih banyak di pihak pasukan Belanda, sementara kekacauan itu sendiri belum tentu dapat dipadamkan.


Rakyat Gudang Batu yang telah berjaga jaga menantikan serangan pasukan Belanda, tampaknya bersemangat sekali menyongsong musuh yang akan mereka hadapi. Tetapi setelah ditunggu selama beberapa hari, pasukan Belanda tidak juga kelihatan batang hidungnya. Oleh karena itu, panduduk Gudang Batu beranggapan, pihak Belanda tidak berani menyerang desa mereka.


Maka dengan penuh suka ria, rakyat Gudang Batu pullang ke rumah masing masing dengan membawa suatu kemenangan besar. Ada seorang ulama terkemuka yang cukup kaya di Gudang Batu, namanya Yahya. Tapi penduduk sekitarnya lebih suka memanggilnya dengan sebutan Ki Wakhia. Pengaruh Ki Wakhia sangat besar. di kalangan penduduk, sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi serta selalu dekat dengan rakyat.


la amat dihormati dan disegani, apa saja yang diucapkan Ki Wakhia, penduduk akan menurutinya dengan patuh. Sifatnya sederhana dan suka berterus terang. Sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, dikatakannya tanpa tedeng alingaling. la tidak perduli orang lain akan tersinggung oleh ucapannya. Kalau menurut pendapatnya benar, akan dikatakan benar. Sedangkan yang salah, ditudingnya bahwa itu salah. Sebab itu, kepada muridmuridnya Ki Wakhia selalu menanamkan tentang kebajikan, kejujuran, serta sifat saling menghargai terhadap sesama manusia.


Sebab, menurut ajaran Islam, Setiap manusia yang dilahirkan di atas duhia ini, punya derajat dan kedudukan yang sama, tidak ada dibedabedakan. Seperti yang dikatakan ulama itu pada suatu pagi di hadapan para santri. "Muridmuridku, rasanya sudah cukup lama kalian menuntut ilmu di pesantren ini. Akan tetapi, sesungguhnya belumlah apaapa. Sebab, menimba ilmu itu tiada pernah keringnya, dan tak akan ada habisnya selama hayat dikandung badan.


Maka dari itu, ingat baik-baik. Apa yang telah kalian peroleh selama di sini, sebenarnya, hanya sebagai bekal dalam mengarungi hidup ini. Yang akan mengingatkan kalian semua bahwa, segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di atas dunia ini telah digariskan Tuhan. Yang menguasai alam semesta ini beserta segala isinya. Untuk itu, dalam keadaan apapun, baik suka dan duka. Kalian harus ingat selalu kepada-Nya, terhadap Tuhan yang menciptakanmu, agar terbuka mata hati kita untuk bisa membedakan baik dan buruk, agar kita dapat menahan diri dari nafsu yang akan menjerumuskan kita ke dalam jurang kehancuran.


Yang akan menuntun kita pada jalan yang benar dan lurus. Tetapi semua itu tidak akan ada artinya, kalau kita tidak mengamalkannya dengan baik. Oleh karena itu, janganlah kita sombong dan takabur, jangan merasa benar sendiri. Kita harus mau menerima nasihat yang baik, walaupun datangnya dari tempat yang hina sekalipun. Jangan lupa muridmuridku, sernua yang ada di dunia ini hanya bersifat fana.


Tak ubahnya seperti sebuah panggung sandiwara, kalau layar sudah tertutup, habislah segalanya. Yang tinggal hanya kesepian dan kesunyian yang mencekam. Oleh sebab itu, pandai pandailah kalian membawa diri. Sebab, masyarakat akan senantiasa menilai apa yang telah kita perbuat selama ini." Demikian antara lain petuah Ki Wakhia kepada muridmuridnya.


Sebagai seorang ulama yang selalu inemperhatikan keadaan rakyat, Ki Wakhia merasa prihatin dengan situasi saat itu. Hatinya menjadi masgul, tak jarang, ia menyaksikan penduduk ditindas dan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal itulah yang menyebabkan kebencian Ki Wakhia kepada penjajah Belanda. Menurut pendapatnya, penjajah Belanda hanya mendatangkah kesengsaraan dan penderitaan kepada rakyat.


Di mana-mana rakyat dipaksa untuk membayar pajak yang mencekik leher, yang lebih menyedihkan lagi, sering dijumpai penduduk diwajibkan kerja paksa tanpa diberi upah sepeserpun. Sementara kebebasan dan kemerdekaan rakyat dibelenggu dengan bermacammacam peraturan yang memberatkan.


Perasaan benci Ki Wakhia terhadap Belanda, diperlihatkan secara terang- terangan. Umpamanya saja, ia tidak pernah membayar pajak dan sering melindungi penduduk dari perlakuan kasar pihak Belanda. Kendatipun Ki Wakhia selalu menunjukkan rasa permusuhan kepada penjajah. Belanda. Tapi untuk sementara waktu, pemerintah kolonial Belanda tidak dapat berbuat apaapa menghadapi pembangkangan Ki Wakhia. Soalnya, pengaruh Ki Wakhia semakin mengakar di masyarakat. Pengikutnya bertambah banyak dan ia amat dicintai penduduk Gudang Batu.


Tuan Menyer Jatuh Cinta ke Nyimas Ijo

Salah seorang putri terkasih Ki Wakhia yang sedang meningkat remaja, terkenal menjadi kembang Desa Gudang Batu. Namanya Nyi Mas Johar Manikam. Entah kenapa, dari sejak kecil Nyi Mas Johar Manikam sangat menyukai warna hijau. Begitu sukanya ia dengan warna kesayangannya. Bahkan, hingga remaja putri pun, Nyi Mas Johar Manikam hampir setiap hari mengenakan pakaian berwarna hijau.


Karena itu, penduduk Gudang Batu memanggilnya dengan nama julukan Nyi Mas ljo. Dapat diartikan, hijau dalam bahasa Serang. bermakna ijo, yaitu warna kesukaan Nyi Mas Johar Manikam.


Ketika itu, usia Nyi Mas ljo, bak bunga sedang mekarmekarnya. Segar dan indah, baunya yang semerbak harumnya seperti menggoda kumbang, yang tergiur mengisap madunya. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya yang kuning langsat selalu tampak bersih dan bercahaya. Rambutnya hitam gempal terurai panjang sebatas pinggang, serasi sekali dengan orangnya. Parasnya cantik luar biasa, dihiasi dengan sepasang lesung pipit di kedua pipinya yang montok, menambah kecantikannya menjadi semakin menawan.


Bibirnya yang selalu basah, tampak merekah laksana buah tomat, membuat setiap pemuda yang memandangnya menjadi geregetan. Bentuk tubuhnya yang menggiurkan, disertai lekuklekuk indah seperti mengundang daya tarik khusus, yang menyebabkan banyak pemuda terpaksa menelan air ludah berkalikali.


"Kalau saja ia mau menjadi istriku, aku rela menjadi tukang masaknya seumur hidup." Kata seorang pemuda sambil duduk melamun, ia sedang membayangkan keindahan tubuh Nyi Mas ljo yang membuatnya sering tak dapat tidur.


"Enak saja kau bicara, mengaca dulu kawan. Perempuan mana yang mau dengan tampangmu yang cacingan itu". Ujar temannya sambil bergurau. "Jangan menghina Bung, siapa bilang. Buktinya, si Munah sampai keedanan dan mengajakku kawin." Jawab pemuda yang pertama tadi. "Tentu saja, dia kan perempuan buta". Ucap yang lainnya menimpali. "Ha.. ha.. ha.." Maka terdengarlah tertawa mereka yang riuh sekali. Begitulah suasana kehidupan para pemuda Gudang Batu waktu itu.


Tidak sedikit pemuda yang mabuk kepayang dan merindukan kecantikan Nyi Mas Ijo. Hampir setiap hari ada saja yang mereka perbincangkan tentang Nyi Mas Ijo, seperti tak pernah bosanbosannya. Kendatipun begitu, tak seorangpun yang berani bersikap kurangajar kepada Nyi Mas ljo, mereka sangat menaruh hormat pada ayahnya.


Rupanya kemolekan paras putri Ki Wakhia, tidak saja tersohor di Desa Gudang Batu serta daerah sekitarnya. Tetapi sampai juga ke kantor Residen Banten di Serang. Suatu hari, Tuan Meyer seorang pria Belanda yang bekerja di kantor Residen Banten, mendapat tugas dari atasannya mengontrol ke Weringin Kurung. Di tengah perjalanan, pria Belanda itu secara kebetulan bersua dengan Nyi Mas ljo yang tengah berjalan bersama temantemannya sambil bersenda gurau.


Tibatiba saja, ia menjadi tertegun menyaksikan paras Nyi Mas ljo yang cantik jelita. Saat itu, Nyi Mas ljo mengenakan kebaya warna hijau muda dan berkain warna hijau tua kembangkembang. Serta berselendang biru yang dibiarkan mengikat lehernya yang jenjang. la tampak begitu anggunnya, tak ubahnya seorang putri keraton yang tengah diiringi dayang dayang.


Sepasang mata lelaki Belanda itu, seperti tak pernah lepas dari tubuh Nyi Mas ljo. la begitu terpesona dan seperti tak percaya, bahwa ada gadis desa yang memiliki kecantikan luar biasa. Bagaikan sekuntum bunga mawar yang mekar di tengah hutan. Hatinya berdebar keras, pertanda ia telah jatuh cinta dan tergilagila pada Nyi Mas ljo. Dalam benaknya, Tuan Meyer berangan angan.


Andaikata saja ia dapat mempersunting gadis berbaju hijau yang baru saja dijumpainya itu, alangkah bahagianya hatinya. Kepada kusir sado, di tanyakannya tentang perempuan yang ditemuinya tadi yang telah merebut hatinya. "Namanya Nyi Mas ljo Tuan, ia memang cantik. Kabarnya, banyak pemuda yang merindukannya." Jawab kusir sado menjelaskan. "Oh, cantik ya."


Hanya kalimat itu yang terdengar dari mulut lelaki Belanda itu. la seperti setengah sadar mengucapkannya. Sementara, kusir sado hanya tersenyum dikulum, melihat tingkah majikannya yang aneh itu. Dalam hatinya, ia mentertawakan majikannya yang mulai tergilagila pada Nyi Mas ljo. "Rasakan, kau," Katanya mengumpat dalam hati.


Selesai menjalankan tugas ke Weringin Kurung, dengan tergesagesa Tuan Meyer memerintahkan kusir sado mampir ke rumah penghulu Weringin Kurung. Tampaknya ada sesuatu yang akan dibicarakan dengan penghulu. Dilihatnya, penghulu tengah duduk seorang diri di ruang tamu sambil menikmati rokoknya. Lelaki Belanda itu memang sudah lama mengenalnya.


"Silahkan masuk Tuan." Sapa penghulu sambil berdiri dari duduknya, dengan membungkukkan badannya ia mempersilah tamunya masuk. "Terima kasih, apa kabar penghulu?" Tegur pria Belanda itu. "Baik, Tuan." Jawab tuan rumah singkat. "Apakah ada yang perlu saya bantu, Tuan." Tanya penghulu menawarkan jasa baiknya. "Mooi!, jij memang teman yang baik.


Begini penghulu, kalau jij bisa bantu saya, nanti jij saya usulkan naik pangkat en gaji yang besar, mengerti." Kata tamunya dengan nada bersungguh sungguh.


"Terima kasih Tuan, ada persoalan apakah gerangan." Ucap penghulu dengan perasaan gembira. Dasar penjilat ia membayangkan janji Belanda itu yang akan memberikan kedudukan yang enak. Lelaki Belanda itu kemudian mengutarakan maksudnya, ia meminta tolong kepada penghtilu untuk melamar Nyi Mas ljo, yang akan dijadikan istrinya.


Mendengar penuturan tamunya, penghulu terdiam beberapa saat lamanya. "Bagaimana penghulu, apa jij bisa atur". Tanyanya meminta kepastian dari tuan rumah.


"Bisa Tuan, besok saya akan menemui Ki Wakhia untuk membicarakannya." Ucap penghulu menyanggupi. "Mooi, nanti jij kasih kabar secepatnya, Ya. En penghulu dapat langsung naik itu pangkat." Katanya dengan perasaan puas, ia kernudian minta diri pulang ke Serang.


Sepeninggal tamunya, penghulu Weringin Kurung berfikir keras memutar otaknya. Permintaan tamunya tadi, sebenarnya bukan pekerjaan yang ringan. Tetapi, karena ia tergiur dengan janji akan dinaikkan pangkatnya. Akhirnya, diputuskan juga besok pagi ia akan ke rumah Ki Wakhia melamar Nyi Mas Ijo.


'Tidak sarisarinya, sepagi ini penghulu sudah berkunjung kemari." Tegur Ki Wakhia menyapa tamunya. "Mohon maaf sebelumnya, saya telah lancang mengganggu kiyai." Jawab penghulu agak ragu.


"Tidak apa jangan sungkansungkan, utarakan saja maksud kedatanganmu." Kata Ki Wakhia dengan sabarnya. "Begini kiyai, kedatangan saga kemari, ingin menyampaikan maksud baik dari teman saya seorang Belanda. la sangat menaruh hati serta mencintai putri kiyai yaitu Nyi Mas ljo. Untuk itu, saya atas namanya bermaksud melamar putri kiyai untuk menjadi istrinya."


Secara panjang lebar, penghulu menjelaskan niat yang terkandung di hatinya kepada Ki Wakhia. Mendengar penuturan tamunya, Ki Wakhia termangu di tempat duduknya. Ucapan penghulu itu, amat mengejutkan hatinya. Ki Wakhia merasa tersinggung dan marah bukan main, tersirap darahnya menahan rasa geram.


Penghulu itu dianggapnya keterlaluan sekali, berani melamar putrinya untuk diberikan pada orang Belanda yang sangat dibencinya. la seperti tak memandang sebelah mata pun pada tuan rumah. Namun, Ki Wakhia mencoba menentramkan hatinya. Hanya raut mukanya saja yang terlihat berubah menjadi merah padam. Membuat ciut nyali penghulu Weringin Kurung, menyaksikan perubahan pada wajah Ki Wakhia.


"Apa sudah dipikirkan matangmatang, niatmu melamar putriku, penghulu." Sapanya dengan suara agak ketus. "Su... sudah kiyai." Jawab penghulu gugup. "Sebaiknya, batalkan saja tentang rencanamu melamar putriku." Tegur Ki Wakhia seperti menyesalkan, apa yang telah diperbuat penghulu barusan. Sorot matanya berkilat menatap ke arah tamunya penuh selidik. Wajah penghulu Weringin Kurung mendadak pucat, ngeri juga ia melihat sikap Ki Wakhia yang tampak angker itu.


Tapi dipaksakan juga memberanikan diri membuka mulutnya. 'Tapi, maksud saya...". "Cukup, tidak perlu diteruskan ucapanmu. Dengar. baikbaik penghulu, sampaikan jawabanku pada si Belanda lancang itu. Aku menolak lamarannya dan anakku tidak akan pernah kawin dengan orang Belanda." Bentak Ki Wakhia dengan suara keras. "Ba.. baik kiyai, akan saya sampaikan." Jawab penghulu sambil minta diri, ia kemudian berlalu dengan tergopoh gopoh meninggalkan rumah Ki Wakhia.


Hari itu juga penghulu Weringin Kurung melaporkan kegagalannya melamar Nyi Mas Ijo ke Serang. Mendapat berita yang tak menyenangkan itu, Tuan Meyer menjadi berang. Dibantingnya kakinya berkalikali ke atas lantai untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Mukanya yang merah tampak semakin menyalanyala menahan rasa geram yang menggumpal. la kemudian bangkit dan berjalan hilir mudik sambil mulutnya tak hentinya mencaci maki. "Verdom zeg!, berani dia menolak lamaran ik, ya!. Apa sudah bosan hidup?" Katanya mengumpat sejadi jadinya.


"Saya sudah berusaha Tuan, tapi Ki Wakhia tetap menampiknya." Ujar penghulu membela diri. "Dom!, jij terlalu banyak bicara, tapi jij kerja tidak baik, itu saya tidak suka. En Ki Wakhta harus diajar adat, biar dia tahu akibatnya melawan orang Belanda, ya!" Dampratnya sambil uringuringan.


Ancaman pria Belanda yang sedang dimabuk asmara itu ternyata tidak main- main. Perasaan kecewa yang teramat dalam, memang dapat membuat orang menjadi lupa diri. Segala cara akan ditempuhnya, untuk melampiaskan kekecewaan hatinya yang sedang kacau. Seperti yang dilakukan pria Belanda itu, ia kemudian menyewa dua orang jagoan yang dibayarnya untuk membunuh Ki Wakhia. Yang dianggapnya sebagai penyebab kegagalan mempersunting Nyi Mas Ijo.


Pagi itu, seperti biasanya. Ki Wakhia terlihat berada di tengah kebunnya yang cukup luas. Ulama yang satu ini memang agak lain tabiatnya, kendatipun dia dikenal sebagai seorang ulama yang amat kaya dan tak pernah kekurangan. Namun Ki Wakhia tak suka berpangku tangan apalagi berlehaleha. Kalau tak ada urusan penting yang memaksanya tinggal di rumah, pagipagi sekali ia sudah pergi ke ladang untuk bekerja.


Seperti yang terlihat pada pagi hari itu, Ki Wakhia tampak sedang asyik mengayunkan cangkulnya dengan penuh semangat. Mata cangkulnya membelah tanah keras satu demi satu di bawah cahaya matahari yang menyengat tubuhnya. Pakaian yang dikenakannya tampak basah bermandikan keringat yang mengalir deras di sekujur tubuhnya yang tegap dan kekar.


Tibatiba saja; Ki Wakhia menghentikan pekerjaannya, jidatnya yang lebar tampak berkerut seperti ada sesuatu yang mengganggu dan menarik perhatiannya. Sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi, hati kecilnya mengatakan bahwa pada saat itu, ada dua pasang mata yang memperhatikan gerakgeriknya tak jauh dari tempatnya berdiri. Ki Wakhia kemudian menolehkan kepalanya ke arah rerimbunan alangalang yang tumbuh di sebelah kanannya, jaraknya hanya sekitar sepuluh meter.


Matanya yang tajam dapat memastikan bahwa tamu yang tak diundang itu, yang bermaksud tidak baik terhadap dirinya, bersembunyi di balik alang alang itu.


Dugaan Ki Wakhia memang tidak meleset. Saat itu, ada dua orang jagoan tengah mengintainya dari balik rerumputan yang tinggi dan lebat. Keduanya sedang mencari kesempatan yang baik untuk menghabisi nyawanya. Tapi mereka terlalu memandang enteng lawannya, rupanya mereka belum tahu akan kehebatan ulama yang berada di depannya.


Ki Wakhia sebenarnya telah maklum akan bahaya yang setiap saat mengancam dirinya. Namun ia menanggapinya dengan penuh ketenangan yang amat mengagumkan, seperti tak pernah terjadi sesuatu. Hanya senyumnya yang penuh arti tampak menghias pada wajahnya. Kedua tangan Ki Wakhia disilangkan di atas dadanya, lalu mulutnya berkomat kamit membaca mantera ditujukan kepada kedua orang jagoan itu.


Kemudian terjadi suatu keajaibah yang luar biasa, entah bagaimana mulanya. Tapi yang jelas, kedua jagoan itu lalu saling berkelahi seperti menghadapi musuh saja. Mereka saling pukul, saling banting serta menendang sekenanya. Pertarungan keduanya tampak seru sekali, sama kuatnya dan sama gesitnya. Menyaksikan perkelahian kedua orang jago itu, Ki Wakhia tak bereaksi apa-apa.


la malah pergi meninggalkan mereka berjalan pulang ke rumahnya. Sekitar jam 10.00 siang Ki Wakhia tiba di rumah, ia disambut oleh putri kesayangannya dengan penuh tanda tanya.


"Tumben, sepagi ini sudah pulang Pak. Ada apa kiranya." Sapa Nyi Mas Ijo bertanya. "Tidak apaapa anakku, hanya ada dua orang tamu menunggu di kebun. Jawab Ki Wakhia singkat. "Tamu dari mana Pak." Tanya Nyi Mas ljo ingin tahu. "Kalau tidak salah mereka datang dari Serang. Kasihan, kelihatannya mereka belum makan. Anakku, antarkan nasi serta lauk pauknya untuk tamu kita di kebun."


Ujar Ki Wakhia. "Baik Pak." jawabnya sambil berlalu meninggailkan ayahnya. Ketika Nyi Mas ljo tiba di kebun ayahnya sambil membawa bungkusan makanan. la menjadi terkejut menyaksikan dua orang pria tengah berkelahi dengan serunya. Tapi beberapa detik kemudian, Nyi Mas Ijo sadar, rupanya tamu yang dimaksudkan ayahnya tadi adalah kedua lelaki yang tengah bertempur itu. la baru mengerti sekarang, perkelahian mereka tentunya karena ulah ayahnya.


"Hentikan!, sampai sore pun kalian tidak akan ada yang menang." Teriak Nyi Mas ljo mengingatkan keduanya. Begitu ditegur oleh Nyi Mas Ijo, mendadak keduanya menghentikan perkelahian. Lalu mereka saling pandang, tak ubahnya seperti orang bodoh. Keduanya baru sadar bahwa tadi mereka telah berkelahi dengan teman sendiri tanpa disadari.


Dan juga tanpa mereka kehendaki, seperti ada suatu tenaga gaib yang mendorong keduanya untuk bertempur. Mereka telah berusaha untuk menghentikan gerak tangan dan kaki yang meluncur begitu saja tak terkendalikan. Tapi segala upaya yang mereka lakukan, selalu siasia. Aneh, tanpa terasa keduanya menggaruk garuk kepala yang tidak gatal. "Sudahlah, tidak usah dipikirkan, lebih baik kalian makan dulu. Sebentar lagi kalian akan saya antar menemui ayahku." Kata Nyi Mas ljo mengingatkan kedua orang jagoan itu, sambil menyodorkan bungkusan makanan yang dipegangnya.


Tanpa berkatakata lagi, kedua jagoan itu melahap makanan yang telah tersedia. Mungkin karena laparnya, makanan itu sedikit pun tak bersisa. Sambil memegangi perutnya yang buncit, mereka mengikuti Nyi Mas ljo dari belakang untuk menernui Ki Wakhia di rumahnya. "Silahkan duduk, jangan sungkansungkan." Ujar Ki Wakhia mempersilahkan tamunya. "Te.. terima kasih kiyai". Jawab salah seorang di antara mereka agak kikuk. "Kami berdua mohon maaf kiyai, atas kekurangajaran kami". Kata jagoan yang pertama, seperti menyatakan penyesalannya. "Oh, tidak apa. Hanya saja, rasanya hati ini masih penasaran. Ada persoalan apakah yang menyebabkan kalian berniat membunuhku". Tanya Ki Wakhia dengan suara yang amat berpengaruh.


Mendengar pertanyaan yang diajukan tuan rumah, kedua jagoan itu menundukkan kepala dengan tersipu sipu. Sedikit pun mereka tak mengira, bahwa orang yang akan mereka bunuh itu, ternyata berhati mulia dan bijaksana, tak ada rasa dendam sedikit pun tercermin pada wajah Ki Wakhia. Yang membuat mereka semakin tunduk dan malu: Maka, dengan penuh kesadaran serta penyesalan yang dalam atas kekeliruan yang telah mereka perbuat, kedua jagoan itu mengaku terus terang di hadapan Ki Wakhia, bahwa mereka sebenarnya hanya melaksanakan perintah dari seorang Belanda di Serang, untuk membunuh Ki Wakhia. Menurut mereka, pria Belanda itu menaruh dendam terhadap Ki Wakhia, karena gagal memperistri Nyi Mas Ijo. Untuk menjalankan tugas tersebut, kedua jagoan itu mengaku telah dibayar oleh orang Belanda yang belum lama dikenalnya.


"Kami sangat menyesal atas kejadian yang amat memalukan ini, oleh sebab itu, untuk menebus kesalahan yang telah karni perbuat, kami berdua berharap, kiyai dapat menerima kami menjadi murid kiyai." Demikian keduanya mengutarakan maksudnya dengan penuh rasa penyesalan dan kekaguman pada Ki Wakhia.


"Syukurlah, kalau kalian telah sadar. Dengan senang hati aku menerima kalian menjadi murid di sini." Ucap Ki Wakhia. "Tapi, si Belanda dan penghulu Weringin Kurung itu harus diberi pelajaran yang pantas, agar tidak berbuat sewenang wenang terhadap orang lain." Katanya memutuskan dengan suara yang mantap. Hari itu juga Ki Wakhia mengumpulkan seluruh para santri dan pengikutnya untuk membicarakan persoalan yang penting. Kepada semua yang hadir, secara panjang lebar diceritakan tentang permasalahan yang sedang dihadapi Ki Wakhia. Pada pertemuan tersebut, telah diputuskan untuk memberi hajaran pada si Belanda dan penghulu Weringin Kurung yang menjadi antek Belanda. Sebelum usai pertemuan, Ki Wakhia membagikan sekepal nasi yang telah diberi berkat, kepada puluhan murid dan pengikutnya yang hadir pada saat itu.


Setelah selesai acara pemberkatan, tampaknya terjadi suatu perubahan pada diri mereka. Ketika itu, timbul rasa berani yang luar biasa pada setiap murid dan pengikut Ki Wakhia. Selanjutnya dilakukan persiapan seperlunya untuk menghadapi penyerangan pertama dengan sasaran rumah penghulu Weringin Kurung. Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di rumah penghulu Weringin Kurung. Puluhan murid dan pengikut Ki Wakhia datang menyerbu rumahnya Penghulu Weringin Kurung yang menjadi sasaran para penyerbu, diseret ke luar rumah lalu dipukuli beramairamai. Setelah tubuhnya babak belur dihajar habis habisan, penghulu diancam agar melaporkan peristiwa itu kepada si pria Belanda di Serang. Sesudah itu para penyerbu meninggalkan penghulu Weringin Kurung yang tergeletak tak berdaya di halaman rumahnya. Untungnya, para penyerbu memegang teguh pesan terakhir Ki Wakhia yang melarang mereka melakukan pembunuhan.


Mendapat laporan yang tak menyenangkan dari penghulu Weringin Kurung yang menjadi korban amukan pengikut Ki Wakhia. Pria Belanda itu menjadi marah bukan main, dikepalnya tinjunya berkalikali karena menahan rasa geram yang tak tertahankan. Saat itu, ada rasa malu bercampur dendam yang menyelinap ke dalam hatinya. 


Betapa tidak, ternyata rencana jahatnya diketahui juga oleh Ki Wakhia yang amat dibencinya itu. Bahkan, dua orang jagoan yang dibayarnya berbalik menjadi pengikut Ki Wakhia. Untuk menutupi kebusukannya, pria Belanda itu kemudian melaporkah kejadian yang telah menimpa penghulu Weringin Kurung pada atasannya. Begitu pandainya ia membuat pengaduan sedemikian rupa, sehingga atasannya terpengaruh oleh semua katakatanya. 


Seakanakan Ki Wakhia dan pengikutnya berniat melakukan kekacauan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sebenarnya, pihak Belanda dari dulu agak segan berurusah dengan rakyat Gudang Batu. Akan tetapi, karena dikhawatirkan terjadi sesuatu yang dapat menggoyahkan kekuatan penjajah Belanda di Banten. Akhirnya disetujui mengirimkan pasukan Belanda ke Gudang Batu untuk menangkap Ki Wakhia dan para pengikutnya.


Sementara itu, di tempat kediaman Ki Wakhia di Gudang Batu. Sekembalinya mereka dari Weringin Kurung, dilakukan persiapanpersiapan menghadapi serangan musuh. Menurut perkiraan mereka, dalam waktu dekat Gudang Batu akan diserbu pasukan Belanda yang datangnya dari Serang. Ketika itu, semua murid dan para pengikut Ki Wakhra berkumpul di ruangan tengah mendengarkan wejangan yang disampaikan oleh pemimpin mereka yang berbicara dengan suara lantang bergema ke seluruh ruangan.


"Muridmuridku dan para pengikutku semua, sudah tiba saatnya bagi kita untuk berperang melawan kelaliman dan penindasan yang membuat rakyat menderita. Demi membebaskan rakyat dari kebodohan dan kemiskinan, kita berkewajiban mengusir penjajah Belanda dari tanah Banten yang kita cintai. Oleh karena itu, tunjukkan baktimu kepada rakyat, dengan bekal semangat banteng ketaton dan tekad suc'i yang tertanam di dada kita masing-masing. Dan sebagai bukti, bahwa kita punya harga diri. Mari kita perangi penjajah Belanda sampai terusir dari bumi Banten."


Begitulah petunjuk yang diberikan Ki Wakhia, ucapannya mengandung makna yang amat dalam seakan menyentuh hati setiap yang hadir. la berbicara dengan berapiapi yang membangkitkan semangat juang para pengikutnya. Ketika pertemuan usai, dengan senjata terhunus, satupersatu pengikut Ki Wakhia bergerak ke perbatasan Desa Gudang Batu untuk menyongsong pasukan Belanda. Sementara itu, dari kejauhan terlihat puluhan pasukan Belanda dengan senjata lengkap bergerak maju mendekati Desa Gudang Batu. Mereka sedikit pun tidak mengira, pada waktuyang bersamaan, para pengikut Ki Wakhia juga bergerak ke arah depan menyambut pasukan Belanda.


Ketika kedua pasukan bertemu dan saling berhadapan di tapal batas Desa Gudang Batu. Masingmasing pihak bersiaga menghadapi musuh dengan senjata siap di tangan. Ki Wakhia terlihat berada di barisan paling depan memimpin pasukannya, berdiri tegak dengan gagahnya. Sepasang matanya yang mengeluarkan sinar aneh, menatap penuh selidik seperti hendak mengukur kekuatan lawan.


Secara tibatiba, Ki Wakhia mengangkat lerigan kanannya tinggi ke atas, sebagai isyarat, memberi abaaba kepada para pengikutnya yang sudah tidak sabar menunggu, agar bergerak maju menyerang musuh yang berada di depan mereka. Maka, dengan didahului suara teriakan melengking panjang. "Serbu."


Terjadilah pertempuran yang amat seru antara kedua belah pihak, suara beradunya senjata tajam berbaur menjadi satu dengan bunyi letusan senjata api yang dilepaskan pasukan Belanda. Masingmasing pihak berusaha saling menyerang dan saling melukai tubuh lawannya. Di balik hiruk pikuknya peperangan yang semakin ramai, terdengar suara rintihan serta keluhan kesakitan di sanasini. Korban mulai berjatuhan satu demi satu dari kedua belah pihak. Desah nafas yang memburu meregang nyawa, seakan berpacu dengan kelebatan senjata tajam dan muntahan timahtimah panas yang terus berlomba meminta korban.


Tampaknya para pengikut Ki Wakhia mulai terdesak oleh pasukan Belanda yang memberondong mereka dengan tembakan tembakan gencar. Kendatipun mereka telah dibekali dengan semangat juang yang menggebugebu pantang menyerah. Namun walau bagaimanapun, dalam suatu pertempuran yang terbuka. Unsur kelengkapan senjata mutakhir, berperan sangat penting dalam menentukan suatu kemenangan. Meskipun demikian, keberanian dan keperkasaan Ki Wakhia ketika bertempur menghadapi musuh di medan laga, amat mengagumkan sekali. Tak satu pun lawan yang mampu mendekati ulama sakti itu. Desingan peluru yang berseliweran di dekatnya, tak sebutir pun yang dapat merobek tubuhnya. Luar biasa, tubuhnya seperti kebal terhadap senjata apapun. Pelurupeluru itu seperti begitu saja menyentuh Ki Wakhia, lalu berjatuhan ke atas tanah.


Yang lebih hebat lagi, setiap kali Ki Wakhia menggerakkan kedua lengannya. Pasukan Belanda yang berusaha mengurungnya mendadak tercerai berai berpentalan ke sanakemari. Tak ubahnya daundaun kering dihempaskan angin yang bertiup amat dahsyat. Tetapi, bagaimanapun gigihnya perlawanan Ki Wakhia beserta pengikutnya, akhirnya siasia saja. Pasukan Belanda yang jumlahnya jauh lebih besar, lambat laun mendesak mereka sampai ke tepi Desa Gudang Batu.


Sementara, korban yang berjatuhan semakin bertambah jumlahnya. Tapi jumlah korban yang terluka dan mati di pihak Ki Wakhia jauh lebih banyak. Darah merah berceceran di sekitar medan pertempuran, menyebarkan bau yang sangat amis dan menyesakkan hidung.


Menyaksikan banyak korban yang berjatuhan di pihaknya serta posisi para pengikutnya tidak menguntungkan terkepung oleh pasukan Belanda. Ki Wakhia memerintahkan para pengikutnya mundur menjauhi lawan, sambil terus mempertahankan diri dari serangan pihak musuh. Tapi pasukan Belanda tidak memberikan kesempatan sedikitpun, mereka terus mendesak lawannya disertai letusanletusan gencar yang diarahkan ke sasaran. Situasi semakin kacau, para pengikut Ki Wakhia menjadi panik dibuatnya. 


Ketika itu, yang terlintas di benak mereka, hanya menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Belanda. Tetapi, karena keadaan sudah semakin tidak menentu. Beberapa orang pengikut Ki Wakhia yang tidak sempat meloloskan diri ditawan pasukan Belanda. Sebagian lainnya berhasil melarikan diri sejadijadinya ke arah pohonpohon lebat yang ada di sekitar tempat pertempuran.


Tampaknya, kali ini pasukan Belanda bertindak tidak setengahsetengah. Mereka terus memburu ke mana pun Ki Wakhia dan pengikutnya melarikan diri. Berbulanbulan Ki Wakhia dan pengikutnya berpindah pindah tempat persembunyian, dari tempat yang satu ke daerah lainnya yang dianggap aman. Namun pasukan Belanda selalu mengejar mereka, setiap daerah yang diduga menjadi tempat persembunyian Ki Wakhia dan pengikutnya diobrak abrik. Tapi yang dicari tak pernah dijumpai, seperti menghilang ditelan Bumi.


Sementara itu, di tempat lain. Di suatu daerah persembunyian yang diperkirakan cukup aman. Ki Wakhia tengah duduk bersila di hadapan para pengikutnya. Raut mukanya tampak muram seperti menanggung beban yang amat berat. Perasaan menyesal atas kekalahan pihaknya dalam pertempuran di Gudang Batu, nampaknya masih membekas di hatinya. 


Murid dan pengikutnya yang sejak tadi dengan setia mendampingi Ki Wakhia, tak satu pun yang berani membuka mulut. Mereka hanya berdiam diri saja sambil menundukkan kepala, seperti turut bersedih dengan kesusahan yang dialami Ki Wakhia. Suasana terasa hening beberapa saat lamanya, kemudian terdengar suara Ki Wakhia yang berat memecah kesunyian, berucap kepada para pengikutnya.


"Muridmuridku dan para pengikutku, hati ini rasanya masih penasaran, kekalahan kita di Gudang Batu merupakan cambuk yang mendera kita. Cita-cita luhur mengusir penjajah asing dari negeri yang kita cintai ini, ternyata telah menemui kegagalan. Tentunya kita semua merasa sedih dan kecewa. 


Tapi tidak apa, itu memang sudah menjadi risiko dalam setiap perjuangan. Tidak satu pun perjuangan bisa dicapai dengan cara yang mudah dan enak. Agar kita selamat sampai ke tujuan, diperlukan keteguhan iman, keuletan dan kesabaran, serta pengorbanan yang tidak sedikit. Baik harta benda maupun pengorbanan jiwa. Oleh karena itu, kepada saudarasaudara kita yang telah mendahului kita semua menjadi syuhada, kita doakan semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan. Mari kita teruskan pengorbanan mereka, dengan mengobarkan semangat perjuangan di dada kita masingmasing." Demikian nasihat Ki Wakhia kepada para pengikutnya.


"Keadaan sudah semakin sulit, kita sedikit pun tidak diberikan kesempatan untuk menyusun kekuatan. Pasukan Belanda selalu memburu kita ke mana pun kita bersembunyi. Sebentar lagi tempat ini akan tercium oleh pasukan Belanda. Dan kita terpaksa mengungsi lagi ke daerah lain, begitulah seterusnya. Saat ini tanah Banten sudah tldak aman buat kita. Maka dari itu, pada kesempatan ini, aku ingin menyampaikan sesuatu yang sebetulnya amat berat dikemukakan.


Tapi demi kelangsungan perjuangan kita selanjutnya. Apa boleh buat, hanya jalan itu yang harus kita tempuh. Dengarkan baikbaik muridku dan para pengikutku semua, terlebih dulu aku mengucapkan terima kasih atas segala kesetiaan kalian. Tetapi, karena ruang gerak kita semakin sempit dan sulit. Terpaksa, untuk sementara kita berpisah dulu. Aku berniat mengungsi ke daerah yang aman." Kata Ki Wakhia dengan suara datar. "Tapi, ke mana kiyai hendak pergi." Tanya salah seorang muridnya ingin tahu. "Untuk saat ini, satusatunya tempat mengungsi yang aman adalah Lampung." Jawabnya singkat. "Siapa yang akan menemani kiyai, dalam perjalanan nanti." Ujar pengikut lainnya bertanya. "Oh, tidak usah. Kalian tak perlu khawatir, aku masih sanggup menjaga diri." Katanya meyakinkan para pengikutnya.


Setelah usai pertemuan, semua yang hadir membubarkan diri. Ki Wakhia yang ditinggalkan seorang diri, masih belum beranjak dari tempat duduknya semula. Pikirannya menerawang jauh ke depan, membayangkan keluarganya yang berbulanbulan ditinggalkan di Gudang Batu. Tanpa terasa, batinnya terguncang oleh kedukaan yang melilit hatinya. Tapi hanya sesaat, kedua lengannya mengusap wajahnya yang agak kusut. Setelah itu, pikirannya kembali menjadi jernih.


Dengan hati yang mantap, Ki Wakhia berlalu meninggalkan tempat persembunyiannya dengan tujuan mengungsi ke Lampung. Beberapa waktu kemudian, dari Lampung Ki Wakhia melanjutkan perjalanan pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di tanah suci itulah, ulama besar itu memperdalam ilmu agama selama bertahuntahun.


Di rumah kediaman Ki Wakhia di Gudang Batu, suasananya tampak hening dan sunyi seperti ditinggalkan oleh penghuninya. Sebenarnya tidak demikian halnya, kalau kita melongok lebih ke dalam, ternyata rumah itu berpenghuni cukup banyak. Hanya saja, sejak berita kekalahan Ki Wakhia dan para pengikutnya sampai ke telinga mereka. Keluarga Ki Wakhia seperti menutup diri dari dunia luar. Terutama Nyi Mas Ijo, berharihari ia mengurung diri di dalam kamar menangis tiada hentinya. Betapa tidak, walau bagaimana pun, Nyi Mas Ijo merasa turut bersalah. Bahwa dirinya sebagai salah satu penyebab hingga terjadinya perang Gudang Batu, yang mengakibatkan ayahnya dikejarkejar pasukan Belanda.


Namun yang paling dikhawatirkan Nyi Mas Ijo saat itu, adalah dendam pria Belanda yang tergilagila kepadanya. la tak dapat membayangkan, apa yang terjadi andaikata pria Belanda itu menyatroni rumahnya dan memaksanya kawin dengan lelaki Belanda itu. Ngeri hatinya memikirkan semua itu. Dan jika hal itu sampai terjadi, ia telah bertekad akan mempertahankan harga diri serta kehormatannya hingga titik darah terakhir. Apa pun yang terjadi, ia tak sudi menjadi istri orang Belanda yang dibenci ayahnya serta seluruh keluarganya itu.


Bayangan buruk itu, selalu mengganggu pikirannya. Dalam beberapa hari saja, tubuhnya yang gempal dan montok kelihatan kurus, mukanya pucat tak terawat. Sepasang matanya yang indah tampak bengkak akibat terlalu banyak menangis. Setiap malam, Nyi Mas ljo dibayangbayangi rasa takut yang mencekam perasaannya, membuat ia tak dapat memicingkan matanya. Karena tak kuasa menanggung derita batin yang terasa semakin menghantui dirinya. Akhirnya, Nyi Mas Ijo berbuat nekad. Suatu pagi, gadis malang itu pergi dari rumahnya dengan tujuan ke Ujung Kulon untuk menemui Ki Pelen. Seperti diketahui, Ki Pelen tersohor sebagai manusia Sakti penguasa hutan belantara Ujung Kulon yang memiliki pasukan Harimau. Konon kabarnya, seluruh harimau yang ada di Ujung Kulon tunduk dan patuh pada kekuasaan Ki Pelen yang amat ditakutinya itu. Setiap saat, orang tua Sakti itu dapat mengerahkan pasukan Harimau sekehendak hatinya. Sebab itu, Nyi Mas ljo bermaksud meminta bantuan Ki Pelen agar mengerahkan pasukan Harimau untuk melawan pasukan Belanda.


Tapi sejak kepergiannya dari rumah, Nyi Mas Ijo tak terdengar lagi kabar beritanya. Tak seorang pun yang dapat mengetahui, bagaimana nasib putri Ki Wakhia yang tengah dirundung kemalangan itu. la seperti raib begitu saja dari keramaian dunia.


Perang Gudang Batu Kedua

Sudah terlalu lama kita meninggalkan keluarga Qoshdu, untuk mengetahui bagaimana keadaannya sekarang. Baiklah, kita menjenguk ke tempat tinggal mereka di Kampung Seruni. Ketika itu, telah terjadi banyak perubahan pada diri mereka. Qoshdu telah berubah menjadi seorang pria setengah baya, saat itu umurnya sekitar 46 tahun. Penampilannya semakin tenang dari berwibawa. Dan karena rasa hormat penduduk kepadanya, ia kemudian diberi gelar dengan sebutan Ki Qoshdu. Sedangkan istrinya, Nyi Fadmah yang dengan setia selalu mendampingi Ki Qoshdu. Kendatipun usianya telah mendekati 39 tahun, namun ia tampak awet muda dan masih menampakkan kecantikannya.


Sementara itu, Abbas telah beranjak dewasa. Berkat ketekunan Ki Qoshdu dalam mendidik putranya, Abbas berkembang menjadi seorang pemuda yang matang. la mewarisi semua sifat yang baik dari ayahnya. Semuda itu, Abbas sudah memiliki pandangan yang luas. Perhatiannya terhadap keadaan rakyat dan negara sangat besar sekali, jiwa patriotisme yang menjadi kebanggaan keluarganya seperti melekat ke dalam hatinya. Keluarga Qoshdu, memang selalu dekat dengan rakyat. Mereka dikenal sebagai pejuang yang tak kenal lelah. Ki Qoshdu dan Abbas selalu bahumembahu dengan pergerakan rakyat lainnya dalam menentang penjajah Belanda. Namun, perlawanan Ki Qoshdu dan Abbas akhirnya tercium juga. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda secara diamdiam mengawasi gerakgerik Ki Qoshdu serta putranya, untuk mengetahui sampai sejauh mana hubungan mereka dengan para pemimpin rakyat lainnya. Di samping itu, pihak Belanda masih mencari buktibukti tentang keterlibatan mereka dengan beberapa kerusuhan yang terjadi belakangan ini di Banten. Sebab, tanpa kesalahan yang jelas, pihak Belanda tidak dapat berbuat apaapa terhadap mereka


Dalam menghadapi pembangkangan Ki Qoshdu dan Abbas, pihak penjajah Belanda tidak bisa bertindak semaunya seperti sering mereka lakukan terhadap rakyat Banten. Soalnya, akibatnya malah akan merugikan posisi pihak Belanda. Dalam pada itu, Ki Qoshdu dan Abbas merasa tidak aman lagi tinggal di Kampung Seruni. Kedua anak beranak itu telah menyadari, bahwa rumah mereka selalu diawasi dari jauh oleh polisi Belanda yang berpakaian preman. Karena itu, untuk sementara waktu, mereka tidak mungkin dapat berhubungan dengan temanteman mereka yang berada di luar tanpa diketahui pihak Belanda. Sebab, tindaktanduk mereka tak pernah lepas dari pengawasan polisi Belanda. Akhirnya, Ki Qoshdu memutuskan untuk pergi mengungsi ke Kubang Panggang di Kecamatan Pulo Merak.


Secara diamdiam dan tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun. K Qoshdu berhasil mengelabui pihak Belanda, ia kemudian memboyong keluarganya ke Kubang Panggang tanpa setahu polisi Belanda. Di tempat tinggal mereka yang baru, Ki Qoshdu dan Abbas merasa lega. Mereka tidak lagi diawasi polisi Belanda yang membatasi ruang gerak mereka berdua. Dengan amat berhatihati Ki Qoshdu dan Abbas dapat menjalin hubungan kembali dengan para pemimpin rakyat yang melakukan gerakan memusuhi penjajah Belanda. Secara sembunyi sembunyi mereka melakukan perlawanan di beberapa tempat. Ketika mereka menetap di Kubang Panggang itulah, Ki Qoshdu dan Abbas mendengar tentang terjadinya perang Gudang Batu pertama yang dipimpin Ki Wakhia. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1840 an. Berita kekalahan Ki Wakhia beserta para pengikutnya, mereka terima dengan hati kecewa Terutama sekali Abbas, sudah lama sebenarnya Abbas mengagumi keberanian dan kehebatan Ki Wakhia. Hanya sayang sekali, sampai saat itu, Abbas belum sempat mengenal lebih dekat. tentang ulama Sakti itu. Ki Qoshdu tampaknya telah memaklumi apa yang sedang dipikirkan putranya ketika itu. Maka, dengan suara yang penuh welas asih, Ki Qoshdu menegur putranya dan menyadarkannya dari lamunan yang membuat Abbas menjadi lupa diri.


"Suatu saat kelak, engkau pasti mengenalnya anakku. Bukan hanya kita yang mengagumi pribadi Ki Wakhia. Tetapi hampir semua pemimpin rakyat menaruh rasa hormat kepada beliau. Betapa tidak!, andaikata saja Ki Wakhia bersikap masa bodoh dengan segala keluhkesah dan penderitaan rakyat yang tertindas penjajah Belanda. Sudah tentu hidupnya sekeluarga akan senang, Ki Wakhia ulama yang kaya raya, tak pernah kekurangan dan selalu bergelimang dengan harta. Tidak seperti keadaannya sekarang, hidupnya menderita dan selalu dikejarkejar pasukan Belanda. Namun, rupanya Ki Wakhia lebih suka memilih hidup sebagai seorang pejuang pembela rakyat. Dari pada bersenangsenang di balik penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang terbelenggu oleh kekejaman penjajah Belanda". Ucap Ki Qoshdu memberi wejangan kepada Putranya.


"Tetapi, kenapa kita selalu berada dipihak yang kalah, Ayah !". Tanya Abbas seperti penasaran.


"Itulah risiko perjuangan anakku, kalau tidak mencapai kemenangan tentunya menderita kekalahan. Tetapi tidak selamanya kita berada dipihak yang kalah, hanya saja mungkin belum waktunya. Dalam setiap kekalahan kita tidak boleh berputus asa, harus dicari penyebabnya. Sebab, kebenaran dan keadilan pada akhirnya akan datang juga, menghapus setiap keburukan dan kejahatan di atas muka Bumi ini. Dan yang penting, kita harus terus mengobarkan semangat perjuangan sampai penjajah Belanda terusir dari tanah Banten. Sehingga rakyat terbebas dari penindasan dan pemerasan kaum penjajah". Jawab Ki Qoshdu dengan panjang lebar.


Mendengar katakata Ayahnya, Abbas termenung di tempat duduknya. la baru menyadari sekarang, tentang arti perjuangan yang sesungguhnya. Hatinya semakin mantap serta pikirannya menjadi terang, seakan menambah semangat perjuangannya semakin tebal. Ki Qoshdu, hanya tersenyum saja menyaksikan perubahan yang terjadi pada putranya. Jiwa anak muda, memang selalu menuntut keterbukaan dan contoh yang baik.


Karena merasa tubuhnya di gerogoti usia yang semakin lanjut serta kondisi fisiknya semakin lemah. Ki Qoshdu mengundurkan diri dari kegiatan para pejuang. Kepada putranya, ia berpesan agar meneruskan perlawanan terhadap penjajah Belanda, selain itu, Ki Qoshdu berharap agar putranya terus menjalin hubungan baik dengan para pemimpin rakyat lainnya yang banyak bermunculan di Banten.


"Ada satu lagi permintaanku, anakku. Dan yang satu ini sudah sepantasnya dilaksanakan secepatnya, agar tubuh yang mulai sakitsakitan ini serta Ibumu yang sudah semakin tua, dapat tenang menghadapi sisa hidup yang tak lama lagi. Usiamu sudah matang dan cukup dewasa bagi seorang pria untuk mencari teman hidup. Tunggu apa lagi, anakku. Tangan ini rasanya sudah gatal ingin menimang seorang cucu". Demikian permintaan Ki Qoshdu kepada putranya.


Abbas tak bereaksi apaapa selain menundukkan mukanya menyembunyikan perasaan malu pada Ayahnya. Pada masa itu, memang kurang baik bagi seorang lelaki seusia Abbas belum beristri. Untuk memenuhi keinginan kedua orang tuanya, maka sekitar tahun 1841, Abbas mempersunting seorang gadis berparas cantik penuh keibuan. Wanita yang menjadi pilihannya itu bernama Nyi Mas Joharanah, salah seorang keturunan dari Mas Jong. Dua tahun kemudian setelah perkawinan mereka, tepatnya pada tahun 1843. Ketika itu, tanah Banten tengah diguncang berbagai kerusuhan yang, menentang kekejaman penjajah Belanda. Di saat kemarahan rakyat mulai bangkit melawan penindasan. Di manamana terjadi kekacauan yang digerakkan oleh para pejuang pembela rakyat. Waktu itu, Banten dilukiskan sebagai daerah yang paling rusuh di Pulau Jawa. Kekacauankekacauan yang timbul di seluruh Banten, tak ubahnya seperti cendawan yang tumbuh di musim hujan. Kenyataan ini tentu saja amat mengejutkan pemerintah kolonial Belanda. Mereka sedikitpun tidak mengira, bahwa rakyat Banten sebenarnya punya kesadaran bernegara yang cukup tinggi.


Dan pada saat situasi yang genting itulah, pasangan suamiistri Abbas dan Nyi Mas Joharanah, dikaruniai seorang putra lakilaki yang bertubuh sehat dan montok. Kehadiran jabang bayi yang telah lama dinantikan itu, membuat suka ria seluruh keluarga. Terutama sekali Ki Qoshdu, saat itu perasaan hatinya bukan main senangnya menyambut kehadiran cucunya. Ki Qoshdu kemudian menghampiri bayi yang tengah tertidur pulas di atas pembaringan, orang tua itu mendekatkan mukanya ke telinga kanan cucunya. Lalu kedua bibirnya berkomat kamit membaca sesuatu, apa yang sedang dikerjakannya. Ketika itu, Ki Qoshdu tengah memberkati cucunya dengan doa, agar kelak setelah dewasa. Cucu yang sangat disayanginya itu menjadi manusia yang saleh, serta dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk kepentingan rakyat dan negara.


"Jaga anak ini baikbaik, kelak cucuku akan menggegerkan seluruh kawasan nusantara dan mengharumkan nama keturunan kita". Ujar Ki Qoshdu berpesan pada putranya.


Perasaan Ki Qoshdu yang sangat tajam, saat itu mengisyaratkan sesuatu pada batinnya tentang masa depan cucunya. Dan pandangannya yang awas, sekilas menangkap suatu tanda pada tubuh bayi yang masih merah itu. Memang demikianlah adanya, bahwa segala sesuatu yang akan terjadi di atas dunia ini, di awali oleh suatu tandatanda. Hanya sayangnya, sebagian manusia tidak dapat memecahkan maknanya. Cuma kaum nelayan yang kerap kali mengikuti petunjuk rahasia Alam. Bukankah itu suatu bukti, betapa kasihnya Tuhan kepada umat-Nya. Tetapi manusia terkadang menjadi lupa diri, tidak tahu berucap terima kasih kepada Allah yang menciptakan Alam Semesta ini beserta segala isinya. Padahal, Allah setiap saat membuka pintu maaf seluasluasnya. Namun manusia selalu mengingkari-Nya, begitulah memang sifat manusia. Selalu tak pernah luput dari kekhilafan dan dosa.


Sebagai ucapan rasa terima kasih Abbas kepada Ayahnya, yang selama ini telah mendidik serta membimbingnya. Dan untuk selalu mengingatkannya kepada Ayahnya yang sangat dikasihinya itu. Abbas memberi nama putranya dengan nama Qosyid, sebuah nama yang mirip dengan nama Ayahnya Qoshdu.


Si kecil Qosyid, pada usia empat tahun, telah menunjukkan kecerdikan dan kecerdasan yang luar biasa, yang jarang dimiliki oleh anak seusianya. Segala yang diajarkan Ayahnya dan Kakeknya dapat dihafalnya di luar kepala. Menyaksikan kecerdasan Qosyid yang amat mengagumkan itu, Ki Qoshdu hanya menggelenggelengkan kepala sambil tersenyum puas. Ki Qoshdu dan Abbas selanjutnya mendidik Qosyid dengan penuh ketekunan, sehingga dalam beberapa tahun saja, Qosyid telah dapat membaca Quran dengan cukup fasihnya. Di kemudian hari setelah usianya menginjak dewasa, Qosyid dikenal dengan nama Wasyid.


Suatu hari, seperti biasanya pada harihari sebelumnya. Abbas melakukan perjalanan rahasia mengunjungi temanteman seperjuangannya. Hari itu, telah ditentukan pertemuan akan diadakan di suatu tempat di Desa Rohjambu. Pada pertemuan yang dihadiri beberapa orang pemimpin rakyat itu. Dibicarakan tentang rencana gerakan berikutnya, membuat kekacauan di rumah seorang pejabat pemerintah kolonial Belanda di Cilegon. Pejabat Belanda itu dikenal berhati kejam dan tak segansegan menyiksa penduduk yang melalaikan kewajibannya membayar pajak. Karena itu, diputuskan untuk memberikan hajaran kepadanya, agar tidak berbuat semenamena lagi kepada penduduk.


Ketika pertemuan berakhir, Abbas berkenalan dengan Lurah Nasid yang menjabat sebagai Kepala Desa Rohjambu. Tampaknya tanpa setahu atasannya, Lurah Nasid aktif melakukan gerakan sebagai salah- seorang pemimpin perlawanan rakyat yang gigih menentang penjajah Belanda. Sebagai seorang kepala desa, Lurah Nasid punya pengikut yang cukup banyak. Oleh sebab itu, di kalangan para pejuang ia cukup disegani dan dihormati. Hubungannya sangat luas dengan para pejuang dan Lurah Nasid banyak mengenal pemimpin perlawanan rakyat yang tersebar di seluruh Banten. Selain itu, di mata rekanrekannya, Lurah Nasid diketahui sebagai salah seorang pengikut Ki Wakhia yang setia.


Meskipun keduanya baru saja bertemu dan saling mengenal, mereka kelihatannya akrab sekali. Seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak pernah berjumpa. Keduanya asyik bercerita tentang pengalaman masing-masing. Dan tentu saja, yang paling banyak mereka bicarakan adalah tentang perjuangan melawan penjajah Belanda. Dari cerita Lurah Nasid inilah, Abbas dapat mengenal lebih dekat mengenai pribadi Ki Wakhia yang dikaguminya itu. Sejak itu, Lurah Nasid sering berkunjung ke rumah Abbas di Kubang Panggang. Begitu pula sebaliknya, tak jarang Abbas menemui sahabatnya di Desa Rohjambu memperbincangkan tentang berbagai persoalan yang menyangkut perjuangan mereka. Persahabatan antara mereka berdua tampaknya semakin erat.


Tahun 1847 Ki Wakhia kembali dari tanah suci, ulama yang dicintai rakyat itu, memang luar biasa beraninya. Tanpa rasa takut sedikit pun terbayang di wajahnya, Ki Wakhia pulang ke kampung halamannya di Gudang Batu menemui keluarganya yang telah bertahuntahun ditinggalkan. Kehadiran Ki Wakhia yang tak didugaduga itu, disambut dengan perasaan suka cita oleh seluruh keluarga dan para pengikutnya. Berita tentang kedatangan ulama yang sangat berpengaruh itu, dengan cepat tersebar di kalangan para pemimpin perlawanan rakyat. Entah kenapa, nama Ki Wakhia seperti memiliki daya tarik luar biasa yang memompa semangat serta keyakinan para pejuang menjadi berlipat ganda.


Pihak pemerintah kolonial Belanda di Serang, juga telah mendengar tentang kembalinya Ki Wakhia ke Gudang Batu. Namun, pihak Belanda kelihatannya bersikap amat hatihati dalam menghadapi Ki Wakhia. Pihak Belanda tidak melakukan tindakan apaapa terhadap Ki Wakhia, selama ulama besar itu tidak melakukan perbuatan yang dinilai membahayakan dan merongrong kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.


Tetapi sebaliknya, sikap dan pendirian Ki Wakhia sedikit pun tidak berubah. Sebagai seorang ulama dan pejuang pembela rakyat, keyakinannya tetap tegar tak tergoyahkan. Apalagi, saat itu batinnya tengah mendapat pukulan yang amat hebat. Ki Wakhia mendengar berita dari istrinya, tentang nasib buruk yang menimpa putri kesayangannya Nyi Mas ljo. Kabar mengenai minggatnya Nyi Mas ljo dari rumah, mau tak mau mengguncangkan perasaannya. Pedih rasanya kalau memikirkan semua itu. Kebenciannya pada orang Belanda kian menjadijadi. Ditambah lagi, Ki Wakhia menyaksikan keadaan rakyat yang semakin menderita dan terbelenggu oleh tekanan penjajah Belanda. Air muka sang ulama tampak keruh, melihat kenyataan yang sangat memilukan itu.


Suatu hari, Lurah Nasid menyambangi sahabatnya Abbas di Kubang Panggang. Kepada sahabatnya, Lurah Nasid mengutarakan maksudnya hendak memperkenalkan Abbas pada Ki Wakhia. Hari itu ia memang berniat menjenguk Ki Wakhia yang baru saja beberapa bulan tiba dari Mekah. Tentu saja maksud baik Lurah Nasid diterima Abbas dengan senang hati. Abbas telah lama menunggu kesempatan yang amat berharga itu, kepergiannya kali ini, Abbas membawa serta putranya, Qosyid yang berusia hampir lima tahun. Maka berangkatlah kedua orang sahabat itu ke Gudang Batu. Kedatangan mereka berdua diterima Ki Wakhia dengan ramah, setelah dipersilahkan duduk, Lurah Nasid memperkenalkan Abbas kepada sang ulama.


"Bagaimana kabarnya selama aku tidak ada", Tanya Ki Wakhia memulai pembicaraan.


"Baik, kiyai. Kami bersama temanteman masih terus melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda". Jawab Lurah Nasid menjelaskan.


"Syukurlah!, itu memang sudah menjadi kewajiban kita semua. Kita tidak bisa membiarkan penindasan terjadi di depan mata dan hidung kita. Apa lagi yang menjadi korban adalah rakyat kecil yang tak tahu apaapa. Kita sudah sepatutnya melindungi dan membela mereka yang tak berdaya upaya dari segala kekejaman.Teruskan perjuangan suci kalian dalam membela kebenaran". Kata Ki Wakhia dengan suara agak berat.


"Maafkan sebelumnya atas kelancangan kami berdua kiyai, ada sebuah pertanyaan yang selalu mengganjal di hati kami serta para pemimpin perlawanan lainnya". Ujar Lurah Nasid dengan sikap yang menghormat sekali.


"Katakaniah, apa yang ingin kalian tanyakan". Tegur sang ulama.


"Apakah kiyai berkeinginan memimpin perlawanan seperti dulu lagi?, kami semua beserta tokohtokoh pergerakan setiap saat siap berdiri di belakang kiyai. Mereka sudah sangat rindu menantikan kehadiran kiyai di tengah-tengah rakyat."


Lurah Nasib dengan amat hatihati mengutarakan maksud kedatangannya. Mendengar apa yang diucapkan tamunya, Ki Wakhia terdiam beberapa detik lamanya. Hatinya begitu terharu atas kesetiaan para pengikutnya yang telah bertahuntahun ditinggalkannya. Ingin rasanya ketika itu juga sang ulama bertatap muka dengan para murid serta pengikutnya. Tetapi setelah menarik nafas dalam.dalam, terdengarlah suaranya yang agak serak seperti menahan keharuan.


"Masih terlalu pagi memperbincangkan persoalan yang sangat penting itu, Nasid. Aku masih ingin beristirahat dan menenangkan pikiran untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi bukan berarti aku melupakan kalian semuanya. Percayalah, suatu ketika nanti, aku pasti berada di antara kalian kembali. Kita akan samasama menyingsingkan lengan baju, serta sepenanggungan dalam merasakan susah dan senangnya memperjuangkan citacita ,luhur kita. Sampaikan ucapanku ini kepada para pejuang semua." Ujar Ki Wakhia menegaskan pendiriannya.


"Baiklah kiyai, segala pesan kiyai akan saya sampaikan kepada teman-teman. Dan mudahmudahan akan menjadi obor yang menerangi jalan para pejuang." Kata Lurah Nasib bersemangat.


Ki Wakhia hanya menganggukkan kepalanya mendengar perkataan Lurah Nasid. Sepasang matanya yang tajam melirik kearah Qosyid yang berada dalam pangkuan Ayahnya. Seperti ada sesuatu yang mengundang perhatian sang ulama. Ditelitinya anak itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, seperti tengah menaksir barang yang hendak dibelinya. Sementara yang dipandangi hanya berdiam diri saja dengan acuh tak acuh. Ki Wakhia tampaknya kagum sekali menyaksikan penampilan serta sosok tubuh Qosyid. Dari tadi anak itu tak bergeming dari tempatnya dengan anteng sekali, seakan turut menjadi pendengar apa yang mereka bicarakan.


"Bukan main anak ini, sepasang matanya begitu tajamnya dan seperti punya pengaruh yang luar biasa. Siapa namamu anak baik?". Tanya Ki Wakhia dengan lembutnya.


"Nama saya Qosyid, Pak Kiyai." Jawabnya dengan suaranya yang nyaring dan lantang.


"Bagus, sekecil ini sudah pandai bicara." Kata sang ulama memuji.


"Lain waktu, mudahmudahan Tuhan masih memberi umur panjang pada kita sekalian. Bawalah anak ini kemari dan tinggallah barang satudua tahun. Agar aku mendapat kesempatan mendidiknya." Kata Ki Wakhia dengan nada bersungguhsungguh.


"Terima kasih sebelumnya, kiyai. Maksud baik kiyai terhadap putra saya, akan saya ingat baikbaik." Ucap Abbas dengan perasaan gembira.


Karena merasa sudah cukup lama bertamu di kediaman Ki Wakhia. Keduanya lalu meminta diri dan kemudian pulang ke rumah masingmasing dengan perasaan puas. Sejak pertemuan mereka dengan ulama terkemuka itu di Gudang Batu beberapa waktu yang lalu, semangat patriotisme Lurah Nasid dan Abbas semakin tebal terpatri di dada mereka. Begitu pula dengan rekan-rekan seperjuangan lainnya, berita tentang kehadiran kembali Ki Wakhia di Gudang Batu, seakan memberi dorongan kepada mereka untuk melipat gandakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti kemudian, kelompok perlawanan yang dipimpin Lurah Nasid dan Abbas, berkalikali berhasil melakukan penyerangan di rumah beberapa pejabat pemerintah kolonial Belanda dan sempat membuat panik pasukan Belanda.


Pada sekitar tahun 1849, utusan khusus residen Banten di Serang mendatangi rumah Ki Wakhia di Gudang Batu. Petugas Belanda itu mendapat perintah menyampaikan surat panggilan dari residen Banten untuk Ki Wakhia. Dalam surat tersebut, antara lain berisi peringatan keras residen yang ditujukan pada Ki Wakhia. Bahwa hingga hari itu, Ki Wakhia tidak pernah memenuhi kewajibannya membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda. Oleh sebab itu, Ki Wakhia diharuskan menghadap ke kantor residen di Serang untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya dan sekaligus membayar denda yang jumlahnya akan ditentukan kemudian.


Sementara itu, Ki Wakhia yang menerima surat panggilan dari residen Banten. Menanggapinya dengan sikap meremehkan, bahkan kepada utusan residen yang menunggu jawabannya. Ulama Gudang Batu itu berucap dengan katakata yang cukup pedas.


"Katakan pada residen Banten, surat ini sudah aku terima. Tetapi jangan harap, aku akan datang menemuinya di Serang. Aku tidak rela, sepeser pun dari harta yang kumiliki, tidak akan pernah kuberikan kepada orangorang Belanda itu."Kata Ki Wakhia dengan suaranya yang ketus.


"Ba.., baik Pak kiyai. Akan saya sampaikan pada Tuan residen." Jawab utusan Belanda itu dengan suara tergagap dan air mukanya berubah agak pucat. Karena khawatir akan menjadi sasaran kemarahan Ki Wakhia, dengan penuh ketakutan, utusan Belanda itu bergegas pergi meninggalkan rumah Ki Wakhia: Kepada atasannya, ia melaporkan semua ucapan serta perlakuan kasar dari ulama Gudang Batu. Kendatipun mendapat pengaduan yang tidak enak dari bawahannya, tetapi pihak pemerintah kolonial Belanda kelihatannya masih menahan diri. Meskipun sudah jelas, secara terang terangan Ki Wakhia melakukan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda untuk yang kesekian kalinya. Namun pihak Belanda tidak mengambil tindakan apaapa terhadap ulama Gudang Batu itu.


Setelah kepergian utusan residen yang sempat membuatnya menjadi berang. Ki Wakhia membanting tubuhnya di atas sebuah kursi dengan pikiran yang kusut. Wajahnya tampak tegang dan benaknya menerawang jauh ke depan. Ki Wakhia sebenarnya telah maklum, tentang akibat dari tindakannya tadi. Tapi ia tak perduli, apapun risikonya, akan dihadapinya demi membela martabat keluarga dan harga diri sebagai seorang ulama yang menjadi tumpuan rakyat. Ki Wakhia tampaknya menyadari, bahwa selama Banten masih dibelenggu kaum penjajah yang menghisap darah rakyat. la tak dapat berpangku tangan membiarkan kekejaman terus berlangsung yang membuat rakyat semakin sengsara dan menderita. Mungkin sudah saatnya bagi Ki Wakhia untuk kembali memimpin rakyatnya mengangkat senjata menentang kaum. penjajah. Demikian anganangan yang terlintas di kepala Ki Wakhia ketika itu.


Beberapa bulan kemudian, ulama Gudang Batu itu mendapat kunjungan dari salah seorang tokoh perlawanan rakyat, namanya Tubagus Iskak. Seperti diketahui, Tubagus Iskak sebelumnya pernah menduduki jabatan sebagai kepala Desa Kedung Cindik. Namun, karena ia dianggap tidak becus melaksanakan tugasnya dan dinilai terlalu memihak pada kepentingan penduduk. Pemerintah kolonial Belanda, kemudian memecat Tubagus Iskak dengan tidak hormat dari jabatan kepala desa. Mendapat perlakuan yang tidak semestinya itu, tentu saja membuat Tubagus Iskak menjadi tersinggung. la merasa telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah kolonial Belanda. Perasaan tidak sukanya pada orang Belanda yang selama ini disimpannya di dalam hati, berubah menjadi kebencian yang meluapluap. Sejak peristiwa itu, Tubagus Iskak diketahui bergabung dengan para pejuang. la sangat aktif memimpin kelompok perlawanan rakyat.


Kehadiran Tubagus Iskak di Gudang Batu saat itu, dalam upaya membujuk Ki Wakhia agar bersedia memegang pucuk pimpinan para pejuang. Pada pertemuan tersebut, Tubagus Iskak memaparkan tentang keadaan para pejuang akhirakhir ini. Dijelaskannya bahwa gerakan memusuhi penjajah Belanda, telah menyebar ke beberapa daerah seperti, Serang, Cilegon dan Pulo Merak. Bahkan, menurut cerita Tubagus Iskak, penduduk Banten yang berada di Lampung. Sebagian telah berkumpul di suatu tempat di Merak, setiap saat mereka siap bergabung dengan para pejuang untuk melakukan serangan terhadap Belanda.


"Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan seorang pimpinan yang punya pengaruh besar serta disegani oleh seluruh para pejuang. Hanya kiyailah orangnya yang pantas menduduki jabatan itu." Kata Tubagus Iskak bersungguhsungguh dengan nada setengah memohon.


Agak lama Ki Wakhia merenungkan permintaan tamunya, tampaknya ia tengah mempertimbangkan masak masak apa yang harus dilakukannya pada saat itu. Akhirnya, terdengar juga jawaban Ki Wakhia dengan suaranya yang lantang.


"Baiklah, kalau itu memang sudah menjadi kehendak kalian. Aku tidak bisa menolaknya. Bulan depan, kita semua berkumpul di sini untuk mematangkan rencana kita selanjutnya. Dan sekalian kita bertemu muka agar lebih saling mengenal di antara sesama teman seperjuangan." Ujar Ki Wakhia menegaskan.


"Terima kasih, atas segala kesediaan kiyai." Ucap Tubagus Iskak dengan perasaan puas dan lega.


Pada waktu dan hari yang telah ditentukan, seluruh pemimpin perlawanan rakyat berkumpul di Gudang Batu. Mereka yang hadir pada pertemuan rahasia itu. Antara lain, penghulu Dempol, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Lurah Nasid dan Abbas. Ketika menghadiri pertemuan yang amat penting itu, Abbas tak lupa membawa serta Qosyid yang selanjutnya dititipkan pada Ki Wakhia. Agar putranya dapat menuntut ilmu dari ulama terkemuka itu sesuai dengan janji beliau beberapa waktu yang lalu.


Suasana di tempat pertemuan, ketika itu tampak hening sekali. Tak satu pun yang hadir berani membuka mulutnya memulai pembicaraan. Para pemimpin perlawanan rakyat yang berjumlah enam orang telah mengambil tempatnya masingmasing, duduk bersila di atas hamparan tikar dengan sikap yang amat menghormat sekali. Semua mata tertuju ke arah Ki Wakhia yang duduk dengan tenangnya, penampilan ulama Gudang Batu itu punya pengaruh yang sangat mengagumkan seluruh yang hadir. Setelah berdehem beberapa kali, terdengarlah suaranya yang menggema penuh wibawa.


"Saudarasaudara seperjuangan, pertemuan kita kali ini. Selain untuk lebih saling mengenal serta mempererat tali persahabatan di antara kita. Tujuan utama pada pertemuan yang amat penting ini, adalah, sebagai pimpinan perjuangan perlawanan rakyat. Saya ingin mengetuk hati saudarasaudara semua, agar terus meningkatkan semangat berjuang yang berkobar di dalam dada kita masingmasing, seperti nyala api yang tak pernah padam. Sebab, tanpa didasari semangat serta keyakinan yang tebal, kita tidak akan pernah mencapai kemenangan seperti yang kita citacitakan bersama. Oleh karena itu, untuk mengacaukan perhatian pemerintah kolonial Belanda, kita akan memusatkan markas perlawanan di tiga daerah. Pertama, saya sendiri bersama penghulu Dempol, akan mengerahkan penduduk dari Gudang Batu. Kedua, Mas Derik, Lurah Nasid dan Abbas, memimpin perlawanan dari Cilegon dan Pulo Merak. Dan yang ketiga, Tubagus Iskak serta Mas Diad, memusatkan para pejuang di Banten. Dengan demikian, diharapkan upaya perlawanan kita, akan mendapat kemajuan yang pesat."


Begitulah petunjuk yang diberikan Ki Wakhia kepada para pengikutnya. Semua yang hadir mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak satu pun ada yang membantah perkataan pemimpin mereka. Beberapa saat kemudian, mereka membubarkan diri dan kembali ke tempatnya masingmasing, untuk menyampaikan pesan Ki Wakhia kepada rekanrekan lainnya.


Dalam pada itu, Qosyid yang ditinggalkan ayahnya di Gudang Batu. Amat rajin belajar ilmu agama di bawah pengawasan langsung Ki Wakhia. Ketika itu, sebenarnya usia Qosyid baru menginjak enam tahun lebih. Tetapi karena otaknya luar biasa cerdasnya, dengan mudah Qosyid dapat mengingat semua pelajaran yang diberikan oleh Ki Wakhia. Menyaksikan kepandaian muridnya yang satu ini, Ki Wakhia bukan main senangnya. Hanya sayangnya, akibat situasi yang tidak mengijinkan. Qosyid cuma sempat kurang lebih enam bulan mengenyam pendidikan dari Ki Wakhia. Waktu itu, pihak pemerintah kolonial Belanda di Serang, telah mencium tentang perlawanan rakyat yang dipusatkan di Gudang Batu. Menurut perhitungan Ki Wakhia, setiap saat pertempuran akan terjadi secara tibatiba. Karena mengkhawatirkan keselamatan Qosyid, dengan berat hati Ki Wakhia mengembalikan Qosyid kepada orang tuanya di Kubang Panggang. Kendatipun begitu, Qosyid menyimpan kesan yang amat mendalam tentang pribadi gurunya. Yang kelak akan mempengaruhi pembentukan watak dirinya setelah usianya beranjak menjadi dewasa.


Minggu kedua bulan Pebruari tahun 1850, di suatu tempat yang dirahasiakan di Desa Rohjambu, Cilegon. Tiga orang pemimpin perlawanan rakyat, Lurah Nasid, Abbas serta Mas Derik, terlibat perundingan yang amat penting. Pada pertemuan tersebut, ketiga tokoh perlawanan itu tengah membicarakan perihal tingkah laku Demang Cilegon yang dinilai sangat meresahkan penduduk. Dari sekian banyak pengaduan penduduk yang mereka terima. Dilaporkan, bahwa Demang Cilegon sering kali bertindak kejam terhadap rakyat kecil. la tak segansegan menyiksa penduduk yang diduga membangkang terhadap peraturan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, akhirakhir ini tindakan Demang Cilegon semakin menjadijadi saja. Rakyat sudah bosan dan muak menyaksikan ulahnya yang tak berperi kemanusiaan itu.


"Bedebah!, kelakuan Demang itu keterlaluan sekali. Lagaknya sudah seperti orang Belanda saja." Umpat Mas Derik dengan geramnya.


"Namanya saja penjilat, apapun akan dilakukannya untuk menyenangkan hati Tuannya." Kata Lurah Nasid menimpali.

"Itu memang benar, tapi yang harus kita pikirkan sekarang. Bagaimana upaya kita melindungi penduduk dari perbuatan Demang yang sangat brutal itu." Ujar Abbas, seperti mengingatkan temantemannya.


"Kita harus menghajar Demang keparat itu biar tahu rasa. Sebab, kalau kita biarkan saja, kekejamannya akan semakin menjadijadi."Ucap Lurah Nasid memutuskan.


Kedua temannya tampaknya setuju dengan usul yang diajukan Lurah Nasid. Mereka kemudian mengatur rencana, menentukan saat yang tepat untuk memberi hajaran pada Demang Cilegon. Kebetulan sekali, menurut informasi dari Lurah Nasid. Pada tanggal 24 Pebruari 1850, Demang Cilegon beserta stafnya akan melakukan kunjungan kerja ke Desa Rohjambu. Maka ketiganya bersepakat, pada kesempatan yang amat baik itu, mereka akan mengerahkan para pejuang untuk menyerang Demang Cilegon dan stafnya sebelum memasuki Desa Rohjambu. Untuk menghindarkan kecurigaan pemerintah kolonial Belanda pada Lurah Nasid, yang ketika itu masih menjabat sebagai kepala Desa Rohjambu. Diputuskan, pada penyerangan kali ini Lurah Nasid tidak diikut sertakan.


Maka pada tanggal yang telah ditentukan, yaitu saat kunjungan Demang Cilegon beserta stafnya ke Desa Rohjambu. Sejak pagipagi sekali, puluhan pejuang yang dipimpin Abbas dan Mas Derik. Telah mengambil posisi bersembunyi di balik pohon serta semaksemak yang rimbun di ujung jalan masuk ke Desa Rohjambu. Ketika itu, mereka tengah menantikan Demang Cilegon dan stafnya yang sebentar lagi akan melalui jalan itu. Sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, di jalan desa itulah mereka akan melakukan pencegatan terhadap Demang Cilegon dan stafnya untuk mgmbalas sakit hati penduduk.


Tak lama kemudian, dari kejauhan mereka melihat kedatangan Demang Cilegon bersama stafnya. Seluruh para pejuang bersiapsiap dengan senjata tergenggam di tangan, sambil menantikan saatsaat yang cukup menegangkan. Sementara itu, tanpa menyadari akan bahaya yang tengah mengancam, dengan tenangnya, Demang Cilegon beserta bawahannya berlalu melewati jalan desa yang telah terkurung para pejuang.


Bersamaan dengan itu, bermunculan puluhan pejuang dari kirikanan jalan, langsung menyerbu ke arah Demang Cilegon dan stafnya. Mendapat serangan yang tibatiba, Demang Cilegon beserta stafnya tak sempat melakukan perlawanan sedikit pun. Para pejuang dengan kemarahan meluapluap, menghajar antekantek penjajah Belanda itu dengan penuh kebencian. Seluruh tubuh Demang Cilegon dan stafnya penuh dengan beberapa luka yang menganga, akibat dari bacokan dan hantaman senjata tajam. Suara rintihan mulai terdengar dari mulut mereka, karena menahan rasa sakit yang tak terhingga.


Tapi para peryerbu sedikit pun tak menghiraukannya, mereka seperti kesetanan menghajar Demang Cilegon dan stafnya hingga babak belur. Baru setelah menyaksikan korbannya terkulai di tanah dalam keadaan tak berdaya, para pejuang menghentikan amukannya. Dan ketika memastikan korbannya telah menjadi mayat, dengan cepat mereka menyingkir dari tempat kejadian, lalu menghilang di balik semak di antara pohonpohon besar yang banyak tumbuh di sekitarnya. Suasana jalan Desa Rohjambu kembali sunyi seperti sedia kala, hanya mayat Demang Cilegon beserta stafnya yang masih tergeletak malangmelintang dalam keadaan mengerikan.


Peristiwa terbunuhnya Demang Cilegon dan stafnya di Desa Rohjambu, dianggap sebagai suatu tamparan terhadap wibawa pemerintah kolonial Belanda. Residen Banten amat terkejut dan merasa malu mendengar berita itu. Ketika itu juga, Residen memerintahkan bawahannya untuk mengusut peristiwa memalukan itu dan menangkap semua pelaku yang terlibat pembunuhan di Desa Rohjambu. Satu regu pasukan Belanda yang kemudian dikirim ke tempat kejadian, menemui kegagalan membekuk para pelaku pembunuhan, yang telah lebih dulu menyelamatkan diri ke daerah yang aman. Di tempat itu, pasukan Belanda cuma menemukan mayatmayat korban pembunuhan yang bergelimpangan di tengah jalan di tepi Desa Rohjambu.


Namun pemerintah kolonial Belanda tidak berhenti sampai di situ. Dengan muka merah padam, Residen Banten memutuskan untuk mengejar para pelaku hingga tertangkap. Upaya polisi Belanda yang kemudian melakukan pengejaran terhadap pelaku pembunuhan Demang Cilegon dan stafnya, tampaknya banyak menemui kesulitan dalam mengungkap peristiwa tersebut. Beberapa desa dan kampung yang diduga dijadikan tempat persembunyian para pelaku digeledah, namun yang dicari tak juga dijumpai. Polisi Belanda kelihatannya mulai tak sabar, menghadapi kenyataan yang menjemukan itu. Pihak penjajah Belanda kemudian memperagakan tingkah laku kasar dan kejam yang menyakitkan hati rakyat.


Penduduk yang dicurigai ditangkap dan diperiksa dengan cara kekerasan untuk mengorek keterangan dari mulut mereka. Dengan cara yang amat keji itulah, polisi Belanda memaksa penduduk membuat pengakuan. Akhirnya, pemerintah kolonial Belanda mendapat titiktitik terang tentang peristiwa Desa Rohjambu. Dari beberapa penduduk yang terpaksa memberikan keterangan, diperoleh petunjuk bahwa Lurah Nasid terlibat dalam perkara pembunuhan Demang Cilegon dan stafnya.


Tanpa membuang waktu, polisi Belanda melakukan penggerebegan secara mendadak di tempat kediaman Lurah Nasid di Desa Rohjambu. Hasilnya, lagilagi pihak Belanda terpaksa gigit jari dengan perasaan mendongkol. Kenapa, ternyata rumah Lurah Nasid didapati dalam keadaan kosong tak berpenghuni. Tampaknya Lurah Nasid telah menyadari rahasianya tercium pihak Belanda. Oleh karena itu, sebelum polisi Belanda mendatangi rumahnya, Lurah Nasid membawa pergi keluarganya mengungsi ke tempat lain. Hampir dua bulan polisi Belanda bekerja keras melakukan penyidikan dan pengejaran terhadap Lurah Nasid serta para pelaku lainnya. Dari sekian banyak keterangan dan catatan yang berhasil dikumpulkan pihak Belanda.


Didapat petunjuk yang kuat, Lurah Nasid dan temantemannya diketahui bersembunyi di Gudang Batu. Bahkan, dari hasil penyelidikan pihak Belanda. Diduga keras, Ki Wakhia tengah menghimpun para pengikutnya untuk melakukan penyerangan terhadap pemerintah kolonial Belanda.


Dengan serangkaian buktibukti tersebut di atas, pihak Belanda berkesimpulan, tindakan Ki Wakhia kali ini sudah sangat membahayakan kedudukan pemerintah kolonial Belanda. Oleh sebab itu, pihak Belanda menanggapi dengan serius ancaman yang datangnya dari Ki Wakhia dan para pengikutnya. Sejumlah pasukan berkekuatan cukup besar disiapkan untuk menumpas Ki Wakhia dan para pengikutnya.


Apa yang dikhawatirkan pemerintah kolonial Belanda, memang tidak meleset. Sejak beberapa waktu yang lalu, para pelaku pembunuhan Demang Cilegon dan stafnya yang dicaricari polisi Belanda ternyata bersembunyi di Gudang Batu. Kehadiran Lurah Nasid, Mas Derik, Abbas serta teman temannya di Gudang Batu, disambut dengan senang hati oleh Ki Wakhia. Hanya saja, Ki Wakhia seperti punya firasat yang tidak baik. Hati kecilnya mengatakan, cepat atau lambat pihak Belanda akhirnya akan mengetahui juga tempat persembunyian mereka. Dan sudah tentu pemerintah kolonial Belanda tidak tinggal diam. Pihak Belanda diperkirakan akan mengerahkan pasukannya menyerbu Gudang Batu untuk menangkap para pelaku pembunuhan Demang Cilegon beserta stafnya. Dengan demikian, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.


Hal itulah yang mengganggu pikiran Ki Wakhia. Soalnya, biar bagaimana pun is tak mungkin berpangku tangan membiarkan pengikutnya ditangkap pasukan Belanda. Agak lama Ki Wakhia terdiam sambil memutar otaknya, setelah dipertimbangkan masakmasak. Ki Wakhia memutuskan, untuk memusatkan seluruh para pejuang berkumpul di Gudang Batu. la bertekad akan menghadapi kemungkinan serangan pasukan Belanda yang setiap saat bisa terjadi. Sebagai langkah pertama, Ki Wakhia mengutus seorang muridnya menghubungi beberapa pemimpin perlawanan rakyat, dengan tugas menyampaikan undangan dari Ki Wakhia untuk mengadakan pertemuan rahasia di Gudang Batu. Dalam pesannya yang disampaikan kepada muridnya, Ki Wakhia juga mengharapkan dengan sangat agar setiap pemimpin perlawanan rakyat membawa serta para pejuang yang menjadi pengikutnya.


Beberapa hari kemudian setelah kepergian muridnya, terlihat kesibukan yang luar biasa di Gudang Batu. Secara diamdiam, para pejuang pengikut Ki Wakhia mulai berdatangan dari seluruh penjuru Banten. Sebagian besar pemimpin perlawanan rakyat, telah berkumpul di suatu tempat di Gudang Batu. Mereka yang hadir di antaranya, penghulu Dempol, Tubagus Iskak, Mas Diad, Lurah Nasid, Abbas, Mas Derik, serta seorang tokoh perlawanan rakyat yang mewakili para pejuang Banten yang berada di Lampung. Saat itu mereka tengah menunggu kehadiran Ki Wakhia yang akan menyampaikan berita penting, tentang kelanjutan perjuangan menghadapi penjajah Belanda. Tak lama kemudian, Ki Wakhia memasuki ruangan pertemuan dengan langkah yang tenang sekali. Setelah memberi salam kepada semua yang hadir, Ki Wakhia mengambil tempat duduk menghadap ke arah para pengikutnya dengan air muka yang bersungguhsungguh.


"Saudarasaudara, terlebih dulu saya ucapkan selamat datang di Gudang Batu. Hari ini, ada persoalan penting yang akan kita perbincangkan bersama- sama. Menurut hasil penyelidikan temanteman kita yang berhasil menyusup ke Serang. Diperoleh kabar, bahwa pihak Belanda sedang mempersiapkan pasukan yang cukup besar jumlahnya untuk menyerbu Gudang Batu. Hal itu memang sudah kita duga jauh sebelumnya. Seperti telah kalian ketahui, peristiwa terbunuhnya Demang Cilegon beserta stafnya di Desa Rohjambu, membuat pihak Belanda seperti kebakaran jenggot. Selain itu, kehadiran saudarasaudara kita yaitu Lurah Nasid, Abbas, serta Mas Derik dl Gudang Batu ternyata telah diketahui pihak Belanda. Akibatnya, permusuhan secara terbuka dengan pihak Belanda tidak bisa kita hindari lagi. Situasi seperti ini, sebenarnya telah lama kita tunggu. Oleh sebab itu, peluang yang sangat berharga ini kita pergunakan sebaikbaiknya untuk menghantam pihak musuh. Kita songsong pasukan Belanda dengan seluruh kekuatan yang ada pada kita. Mari saudarasaudara, kita hancurkan kaum penjajah demi perjuangan suci mempertahankan hak dan kebenaran."


Suara Ki Wakhia terdengar begitu berapiapi, seakan membangunkan semangat para pemimpin perlawanan rakyat, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian. Tokohtokoh yang hadir pada pertemuan tersebut, menyambut ucapan pemimpin mereka dengan teriakanteriakan setuju yang menggema sampai keluar ruangan. Suasana Desa Gudang Batu ketika itu, tampak sibuk sekali. Para pejuang terlihat hilirmudik mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi perang besar melawan penjajah Belanda. Mereka kelihatannya begitu bersemansat sekah, sedikit pun tak ada rasa gentar membayang pada wajah para pejuang. Tekad mereka telah bulat dan siap mempertaruhkan segalanya demi membebaskan rakyat Banten dari kesengsaraan dan penindasan.


Detikdetik menegangkan yang dinantikan para pejuang pembela rakyat dengan penuh kewaspadaan, akhirnya tiba juga. Dari laporan seorang penyelidik yang ditugaskan mengawasi gerakgerik musuh. Diketahui, pasukan Belanda telah bergerak mencapai Keramat Watu. Tanpa membuang waktu, Ki Wakhia dengan cepat mengerahkan ratusan orang pengikutnya mencegat pasukan Belanda di Tegal Papak. Ketika itu, Ki Wakhia memerintahkan para pengikutnya menyerang pasukan Belanda di perkebunan nenas milik penduduk. Dengan harapan, situasi medan pertempuran akan menyulitkan gerak maju pasukan Belanda.


Hari itu, tanggal 3 Mei 1850, pecah perang Gudang Batu kedua. Suatu peristiwa heroisme rakyat Banten, yang kembali mengangkat senjata menentang kaum penjajah. Tegal Papak berubah nienjadi kancah peperangan yang amat hebat. la seakan turut menjadi saksi bisu, betapa kejamnya manusia saat itu. Kilatan lidah api yang menyembur dari moncong senjata, berbaur menyatu dengan suara beradunya senjata tajam, membuat suasana menjadi sangat bising sekali. Kedua belah pihak berusaha saling menggempur dan saling bunuh. Para pejuang pengikut Ki Wakhia, yang bersoraksorai dengan gegapgempita penuh semangat, dengan gigihnya berupaya mendesak lawan ke tengahtengah perkebunan nenas yang banyak tumbuh di sekitar medan pertempuran.


Sementara puluhan pasukan. Belanda bersenjata lengkap. Sebaliknya, seperti tak memberikan kesempatan pada para pengikut Ki Wakhia, untuk bergerak lebih jauh. Muntahan peluru yang terus dihamburkan pasukan Belanda, tampaknya mulai menyulitkan para pejuang.


Korban sudah banyak berjatuhan dari kedua pihak yang saling bertempur. Seorang letnan tentara Belanda berhasil dibunuh oleh para pejuang. Peperangan yang berkecamuk di Tegal Papak, telah berlangsung cukup lama dengan amat serunya. Dan akibatnya, sudah mulai terlihat pihak mana yang menderita kekalahan besar. Kendatipun para pejuang berperang dengan semangat yang berkobarkobar. Namun mereka tak mampu bertahan dari berondongan peluru yang berdesingan mencari korban. Para pejuang begitu paniknya menghadapi keadaan yang amat tidak menguntungkan. Ki Wakhia dan para pengikutnya kalangkabut menghindarkan diri dari tembakan yang dilancarkan pasukan Belanda. Terpaksa mereka hanya bisa bertahan sambil berusaha melangkah mundur.


Melihat keadaan para pejuang yang tercerai berai tak berdaya. Ki Wakhia tak sampai hati mengorbankan para pengikutnya. la kemudian memerintahkan semua pengikutnya menyudahi peperangan dengan jalan mengundurkan diri dari medan laga. Tapi upaya para pejuang untuk menyelamatkan diri, ternyata tak semudah itu. Pasukan Belanda terus merangsek lawannya dengan berondongan peluru yang membabi buta. Situasi menjadi semakin bertambah gawat. Akhirnya, para pengikut Ki Wakhia berlari kocarkacir sejadijadinya.


Tetapi, tak sedikit para pejuang yang ditawan pasukan Belanda. Termasuk di antaranya Lurah Nasid, Mas Diad, serta Mas Derik. Sedangkan Ki Wakhia, Tubagus Iskak, Abbas, dan para pejuang lainnya berhasil menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Belanda.


Akibat kekalahan yang diderita Ki Wakhia dan pengikutnya dalam pertempuran di Tegal Papak, memang amat menyedihkan sekali. Pasukan Belanda yang melakukan operasi pengejaran terhadap Ki Wakhia dan para pengikutnya. Kembali memperlihatkan kekeiamannya dan kelicikan yang sangat menyakitkan hati rakyat. Betapa tidak, pasukan Belanda sedikit pun seperti tak punya rasa kasihan. Desadesa yang diduga dijadikan tempat persembunyian para pejuang pengikut Ki Wakhia di bumi hanguskan. Asap hitam yang membumbung tinggi serta kobaran api yang menjilat rumahrumah penduduk, ditambah lagi dengan jerit tangis memilukan dari penduduk yang kehilangan tempat tinggal. Tampaknya, pasukan Belanda hanya menganggapnya sebagai suatu tontonan yang menyenangkan, ironis sekali. Bahkan, pasukan Belanda bertindak lebih jauh lagi. Penduduk diintimidasi dan disiksa hanya untuk mengorek keterangan dari mulut penduduk tentang persembunyian para pejuang.


Yang lebih keji lagi, pemerintah kolonial Belanda kemudian menyebar fitnah di manamana. Begitulah sifat penjajah, mereka tak segansegannya mengadu domba sesama penduduk. Rakyat dihasut agar membenci para pejuang. Pihak Belanda dengan sengaja menyiarkan berita bohong, bahwa Ki Wakhia dan para pengikutnya adalah pemberontakpemberontak kejam yang sering melakukan perampokan dan menganiaya penduduk. Oleh sebab itu, tak sedikit penduduk yang termakan isyu dan berbalik membenci para pejuang. Akhirnya, banyak penduduk yang membantu pihak Belanda. Secara diamdiam, penduduk yang termakan hasutan, menunjukkan tempat persembunyian para pejuang yang tengah dicari pasukan Belanda.


Akal busuk yang dilancarkan pihak Belanda dalam usahanya memadamkan gejolak perlawanan rakyat. Tentu saja, sudah bisa diramalkan hasilnya. Beberapa kepala desa yang secara sembunyisembunyi menyokong perjuangan Ki Wakhia, serta ratusan pejuang lainnya yang turut terlibat perang Gudang Batu kedua, dengan mudah ditawan pasukan Belanda. Tiga orang pemimpin perlawanan rakyat seperti, Lurah Nasid, Mas Diad, dan Mas Derik, menjalani hukuman diasingkan ke Ternate. 12 pejuang dibuang ke Ambon, dan 130 orang pejuang diasingkan ke Banda. Sedangkan banyak pejuang lainnya yang ditangkap pihak Belanda, diganjar dengan hukuman yang amat berat.

Disarikan dari buku : TRAGEDI BERDARAH DI BANTEN 1888. Oleh A. Hamid

Perang Gudang Batu

Perang Gudang Batu Pertama Baiklah, sebelum kita ikuti peristiwa bersejarah berikutnya yang melahirkan tokoh utama dalam buku ini. Ada baikn...